10 - usil

8 0 0
                                    

Bibir mulut Andre termonyong-monyong sembari menjongkok di depan sebuah mobil. Bibirnya yang sudah maju bersenti-senti itu seperti hendak diadu dengan bumper di depannya. Dua mahasiswi cekikikan melihat polahnya di lapangan parkir kampus.

Terusik, Andre pun menoleh. Matanya membuka lebar. Gadis-gadis itu segera menyingkir, takut Andre akan menggigit.

Tak berapa lama, Andre kembali manyun. Akan tetapi, sebuah getaran ponsel menyentak dirinya untuk segera berdiri. Ia rogoh ponsel dari saku celana. Sebuah nama yang membuatnya sumringah terpampang jelas di layar.

Andre menyapa panggilan telepon yang masuk.

"Halo, Cinta."

"Iiih, Sayang. Kok, kamu gemes banget, sih?"

Andre memainkan alis, seolah aksinya bisa dilihat pendengar. "Gue gitu, loh!"

"Sayang, nanti malam tetap jadi, kan?"

Andre seketika mengernyit. "Nanti malam? Apa? Ngapain?"

"Kamu lupa?"

"Aaah! Iya, iya. Nggak, kok. Ingat."

"Ih! Kamu suka gitu!"

"Buat kamu, apa, sih, yang nggak?" Andre mulai tak jelas.

"Jadi, nanti malam tetap jadi, ya?"

"Oh..., pasti. Konsernya cuma malam ini. Kalau besok, kita cuma nonton orang bongkar pentas. Memangnya, kenapa? Kamu tidak sempat?"

"Justru itu! Lebih dari sempat, Sayang! Kalau perlu, siang nanti kita sudah berangkat."

"Ya, nggak gitu, dong. Kita, kan, sama-sama ada kuliah sampai sore. Pendidikan lebih penting."

"Ih, kamu, kok, keren banget?"

Andre lagi-lagi memainkan alis. "Keren banget gue," benaknya.

"Kamu telepon cuma mau tanya itu?" susur Andre kemudian. "Kayaknya tadi kedengaran gelisah? Tenang, aku tetap jadi, kok. Nanti malam aku jemput."

"Hm..., bukan begitu. Kamu tahu Alex?"

"Alex? Siapa?"

"Mantan cowokku, ih!"

"Ooo...! Kenapa Alex?"

"Alex katanya mau jemput aku malam ini. Dia mau aku balikan sama dia. Aku nggak mau! Kamu ngapain kek supaya dia nggak ganggu-ganggu lagi. Aku, kan, udah jadi punya kamu."

Andre berdehem. "Tenang..., tenang.... Selama ada aku, preman kampung itu tidak akan dapat mendekatimu."

"Preman kampung mana?" Suara usil memutar leher Andre. Wiwid, mahasiswi adik kelasnya itu memainkan alis dengan nakal.

Via yang kebetulan bersamanya, segera menegur, "Tidak baik menyela telepon orang!"

Wiwid malah menyeringai.

Melihat kedatangan Via, Andre bergegas menurunkan ponsel. Jari jempol kanannya refleks menekan tombol putus.

"Aku yakin, yang di telepon itu selingkuhan Bang Andre. Hati-hati, Kak!" ingat Wiwid.

"Apa-apaan, sih?" balas Via. Ia tidak ingin percaya.

"Sekadar jaga-jaga. Dari sini, aku sudah melihat kumis kucing garong di wajah Bang Andre."

"Sekali lagi ngomong aku lempari ponsel!" Andre mengancam. Tangan kanannya sudah siap melempar benda yang ia genggam.

"Ih, takut...!" Wiwid berlari ke belakang Via.

VIA Bagian PertamaWhere stories live. Discover now