14 - aneh

5 0 0
                                    

Via sesekali menoleh ke belakang. Wiwid ternyata mengekor. Ia lalu mendesah.

"Kamu kenapa ngikutin?" tegurnya.

"Eh, copot!" Wiwid mengkaget. Nyaris ia menabrak punggung Via andai tak cepat-cepat mengerem langkah kaki.

"Aku mau ke perpus. Kau tidak ada kelas?" tanya Via lagi.

Wiwid terlihat ragu. "Aku ikut Kakak saja, deh."

"Loh?" Via mengernyit. Ia sebenarnya ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Namun, dirinya sendiri tidak tahu harus mulai dari mana, bertanya apa, dan harus bereaksi bagaimana jika dijawab. Akhirnya, "Ya, sudah," ucapnya kemudian. Via kembali melanjutkan langkah. Wiwid menyusul.

Akan tetapi, Via masih belum bisa membuang rasa yang mengganjal. Gadis yang kini berjalan beriring dengannya itu sebelumnya tampil iseng seperti biasa. Tetapi sekarang, ia malah seperti menghindari sesuatu. Wiwid bahkan sempat ia pergoki tolah-toleh dengan wajah gusar. Sadar gerak-geriknya tengah diperhatikan, Wiwid membalas senyum cengengesan.

Akibat senyuman itu, Via akhirnya berucap penuh prasangka, "Kau bukan mau menjahiliku, kan?"

Wiwid kemudian mendesah. "Jadi, Kakak belum tahu kejadian kemarin? Kak Danti tidak cerita?"

Via lagi-lagi mengerutkan kening. "Ada apa memangnya kemarin?"

Kalau diingat-ingat, tidak ada kejadian spektakuler. Kalaupun ada, Via mungkin tidak sadar karena masih dirundung perasaan tak begitu enak usai mengeluarkan kemampuan anehnya dan melukai banyak orang. Andai pun dikaitkan dengan kejadian malam berdarah yang disebabkan oleh dirinya itu, kejadiannya sendiri sudah lewat dua hari yang lalu. Tidak mungkin baru diungkit-ungkit oleh Wiwid hari ini.

Akan tetapi, jika diingat-ingat lagi, Danti memang pernah cerita tentang bibi barunya yang ternyata juga dosen di kampus ini. Mereka baru pertama kali bertemu kemarin. Dan di pertemuan pertama itu, bibinya sudah ditembak oleh mahasiswa yang tak tahu diri. Tepat di depan matanya, di depan orang-orang. Sayangnya, Danti tidak kenal mahasiswa sok ganteng itu. Ia hanya merasa sering bertemu si pemuda di beberapa kegiatan ekstrakurikuler kampus.

Apakah itu yang dimaksud oleh Wiwid? Kejadian yang remeh begitu?

"Kakak kenal Alwi, kan?" Wiwid malah balik bertanya.

"Alwi? Alwi yang mana, ya?"

"Kakak pasti kenal. Itu, loh, tetanggaku. Yang diam-diam suka sama Kak Danti."

"Oh, yang itu." Via akhirnya mengangguk-angguk. Bagaimana mungkin ia tak kenal dengan orang yang selama ini menjadikan dirinya biro konsultasi. Orang yang sama yang telah mengenalkan dirinya dengan Wiwid. "Terus?"

"Kemarin, dia nembak Kak Danti."

Via mendelik. "Beneran? Alwi? Nembak Danti?" Ini Alwi, loh. Pemuda cengengesan yang selama ini cuma bisa sembunyi. Pemuda yang kadang suka lupa bayar minum di kafe.

Wiwid mengangguk-angguk. "Aku ikut bantu soalnya." Lalu, ia terkekeh.

"Bagaimana? Diterima?" Meski belum dijawab, Via sudah dapat bocoran. Sampai sekarang, Danti tidak pernah menyinggung perihal Alwi. Maka dapat disimpulkan, cinta si pengagum rahasia telah kandas.

Sesuai dugaan, Wiwid pun menggeleng. "Gagal total, Kak. Dia yang nembak, aku yang malu."

"Aduh, kasihan," ucap Via pula berpura-pura iba. "Mau permen?" Via merogoh saku lalu menyodorkan tiga butir permen kopi. Dirinya sedang cari cara untuk membungkam mulut Wiwid. Kalau tak dibuat diam, bisa-bisa ceritanya berlanjut sampai perpustakaan.

"Kasihan sama siapa, Kak? Sama aku atau sama Alwi?" Wiwid menjeling tiga butir permen yang tersodor. Ia ambil satu, tetapi Via memberi isyarat untuk ambil semua.

VIA Bagian PertamaWhere stories live. Discover now