Dua

13.5K 1.7K 121
                                    

"Ketuk dulu bisa nggak, sih?"

Aku mendengus. "Kayak pada biasa ngetuk aja," kataku. Tanpa mengacuhkan putaran bola mata Bulan, aku memasuki kamarnya dan langsung berjalan menuju stop kontak yang terletak di samping meja belajar.

Adikku itu menurunkan majalah yang sedang dia baca dari hadapan wajahnya. Dia menatapku dengan mata menyipit.

"Apa?" kutanya.

Bulan memutar bola matanya lagi. "Tutup pintunya bisa nggak, sih? Entar kamar gue nggak dingin."

"Ditutup juga tetap bakal nggak dingin," sahutku. Dengan malas, aku berbalik arah dan menutup pintu kamarnya. Bulan memandangi pintu itu beberapa detik lebih lama dengan mata tetap menyipit, seolah-olah sangsi kalau aku benar-benar telah menutup pintunya (lebay banget, deh). Akhirnya, dia kembali mengangkat majalah norak ke depan wajahnya tanpa mengatakan apa-apa.

Aku melanjutkan langkah-langkahku menuju stop kontak yang tadi sempat tertunda. Umumnya, cewek baru gede seperti Bulan pasti langsung mengusir siapa pun yang menginjakkan kaki di kamar mereka. Untungnya, aku terlalu sering melakukan itu sehingga adikku sudah tidak mau repot-repot mengusirku.

Kalau tidak terpaksa, aku tidak akan mau nongkrong di kamar Bulan yang sumpek dengan AC bermasalah dan ruangan yang berantakan. Dia memang pemalas. Kerjaannya hanya duduk manis di kasur dan membolak-balik halaman majalah norak atau memakai cat kuku, padahal sebentar lagi dia harus menjalani serangkaian ujian dan tes untuk masuk SMA. Sayangnya, aku terpaksa. Tadi ponselku mati total saat aku sedang asyik mengobrol dengan teman-temanku. Supaya besok pagi aku tidak merasa bodoh karena ketinggalan gosip penting, aku harus mengungsi di kamar Bulan.

"Rinai, Bulan! Makan dulu!" Teriakan Mama dari lantai dasar tahu-tahu terdengar.

"Iya!" balas aku dan Bulan. Aku segera menyambungkan charger Bulan dengan ponselku, lalu kami berdua turun ke ruang makan.

Di meja makan, Mama, Papa, Embun, dan Bintang sudah duduk dengan rapi. Aku dan Bulan segera menempati kursi kosong dan menuang nasi ke piring masing-masing.

Ngomong-ngomong, Embun adalah kakakku. Dia cewek, dan dua tahun lebih tua dariku. Berhubung aku kelas sebelas, Embun sedang menjalani tahun pertama kuliahnya.

Bintang dan Bulan adalah kedua adik kembarku--laki-laki dan perempuan--yang sangat tidak kembar. Mereka kelas sembilan. Kalau Bulan kelewat dewasa sebelum waktunya dan hobi jalan dengan teman-temannya, Bintang kelewat bocah melampaui waktunya dan lebih suka bersama teman-temannya di rumah. Tentu saja teman-temannya adalah Phineas dan Ferb. Barangkali cita-citanya adalah menjadi penjahat level atas seperti Dr. Doofenshmirtz dan membuat kakaknya gila sepanjang waktu, yang ngomong-ngomong sudah berhasil dia capai. Herannya, ada saja temanku yang hobi kirim salam untuk Bintang.

Nama kami berempat memang Embun, Rinai, Bintang, dan Bulan. Namun, tentunya nama orangtuaku senormal Feri dan Asti, bukannya Alam Semesta dan Seisinya atau apa. Soalnya kalau memang benar begitu, aku pasti tidak akan menceritakan ini semua, sebab aku sudah keburu mati depresi karena menjadi bahan ejekan teman-temanku.

"Gimana, Rin? Tadi semuanya lancar?" Mama bertanya ketika kami semua sedang sibuk dengan soto ayam masing-masing.

Aku meletakkan sendok dan garpuku, mendadak tidak bernafsu melanjutkan makan. "Lancar. Lancar bikin aku kelihatan bego."

Semua orang di meja makan—kecuali Bintang, tentu saja—melirikku.

Aku menatap mereka dengan garang, seolah melirikku sama dengan menghakimiku. Aku tahu, aku berlebihan. Entahlah. Mungkin sebentar lagi aku datang bulan. "Aku salah tempat. Mama bilang TK Raka ada di belakang sekolahku. Padahal, yang bener ada di belakang SMP-ku," kataku, menyebabkan semua orang tersedak makanan mereka dan sebisa mungkin menahan tawa. "Kebetulan banget aku ketemu Rangga, yang bikin harga diriku jatuh jadi minus dua ratus di mata dia," tambahku dengan sinis.

A Babysitter's DiaryWhere stories live. Discover now