Dua Belas

7.2K 1.3K 57
                                    

Rangga ternyata tempat bercerita yang cukup baik. Itu adalah kesimpulanku setelah beberapa hari belakangan, dia menjadi tempat bercerita selain keluarga dan teman-temanku. Terlepas dari segala tingkah menyebalkannya, Rangga rupanya lebih dewasa dari yang kukira. Mungkin memang seharusnya aku tidak pernah mengira-ngira Rangga itu seperti apa. Mungkin aku harus melakukannya terhadap semua orang.

Saat ini, aku dan teman-temanku sedang makan di kantin sambil mengobrol, seperti biasa. Anis mengatakan bahwa dia sudah sedikit lebih nyaman dengan Raja. Aku lega mendengarnya.

Tahu-tahu, aku melihat Rangga berjalan ke arah meja kami. Aku mengalihkan mataku supaya kami tidak melakukan kontak mata, namun terlambat. Begitu melihatku, dia mempercepat langkahnya dan berhenti di samping meja kami.

"Kenapa?" tanyaku. Entah kenapa, hari ini wajah Rangga terlihat luar biasa kusut. (Bukannya aku memerhatikannya, lho! Itu kelihatan jelas.)

"Gue diminta nyokap gue buat ngasih tau lo, jangan pulang dulu sampe nyokap gue balik. Hari ini nyokap pulang cepet. Katanya ada yang mau diomongin sama lo," jawab Rangga.

Dahiku berkerut. "Nyokap lo mau ngomong apa?"

Rangga hanya mengedikkan bahunya dengan malas. Tanpa mengatakan apa-apa, dia pergi dari meja kami. Kentara sekali kalau dia sedang hilang semangat.

Setelah dia pergi, aku diliputi rasa cemas. Apa, ya, yang ingin Tante Eva bicarakan?

[]

Aku sudah mengerahkan seluruh tenagaku untuk berkonsentrasi kepada Phineas dan Ferb yang sedang bertarung dengan mumi. Namun, aku terap gagal. Aku tidak bisa berkonsentrasi.

Apa aku akan diberhentikan? Aku berusaha tidak memikirkan kemungkinan terburuk itu, karena kurasa aku telah melakukan tugasku dengan baik. Aku menjemput Raka tepat waktu, menemaninya di rumah, bahkan mengajaknya melakukan kegiatan bermanfaat. Tetapi, kemungkinan terburuk itu terus-menerus menghantui kepalaku.

Ngomong-ngomong, tadi aku pergi ke sini bertiga bersama Rangga dan Raka. (Untungnya, kali ini yang berjalan kaki adalah Rangga.) Yap, dia lagi-lagi tidak bermain bola. Selama perjalanan ke rumahnya, Rangga tidak banyak bicara. Dia tampak sangat kusut—aku sudah mengatakan itu sebelumnya, tetapi itu memang kata yang tepat.

Saat ini Raka sedang tertidur di atas karpet. Sementara itu, Rangga duduk di sebelahku. Matanya terus tertuju ke layar televisi, tetapi aku tahu, bahwa sama juga sepertiku, dia tidak bisa berkonsentrasi menonton.

"Lo kenapa, Ngga?" tanyaku akhirnya.

"Banyak pikiran," gumamnya.

"Cerita, dong. Gantian."

Rangga menghela napas. "Tunggu nyokap gue dateng aja. Nanti juga lo tau."

Aku ingin tahu sekarang, tetapi tidak berusaha bertanya lebih lanjut. Jadi, aku hanya diam dan kembali sibuk dengan pikiranku, sampai terdengar suara mesin mobil dimatikan dari depan rumah.

Aku mulai gugup.

"Nyokap gue dateng," kata Rangga.

Aku dengan cepat mengangguk. "Gue tahu."

Tak lama kemudian, Tante Eva muncul dari pintu depan. "Duh, lama nunggu, ya?" tanyanya sambil tersenyum meminta maaf. Dia menutup pintu di belakangnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menenteng tas di pundaknya.

Aku tersenyum sopan dan menggeleng. "Enggak kok, Tan."

Tante Eva balas tersenyum. Dia melangkah ke ruang makan dan meletakkan tasnya di atas meja. Lalu, langkahnya berlanjut ke ruang keluarga, dan Tante Eva mengangkat Raka dari karpet sebelum memindahkan bocah itu ke kamarnya.

A Babysitter's DiaryWhere stories live. Discover now