Delapan

8.2K 1.4K 184
                                    

"Temen-temen," kata Anis ketika bel istirahat berbunyi. "Gue mau cerita. Tapi, kita ke kantin dulu."

Setelah merapikan barang-barang, kami berempat berjalan keluar kelas. Kami menyusuri koridor, lalu ke bawah. Begitu sampai di depan lapangan basket, Anis meghentikan kami semua.

"Duh, lewat sini, lagi," katanya lebih kepada diri sendiri, terlihat cemas. "Ada jalan lain selain lewat sini, enggak, sih?"

Tata menyipitkan matanya. "Kenapa, sih?"

"Makanya itu, nanti gue ceritain," jawab Anis.

"Enggak ada jalan lain, Anis," kataku.

Anis mendadak panik. "Duh, kalo gitu kalian bertiga sembunyiin gue, ya?"

Aku, Tata, dan Dea saling berpandangan dengan bingung. Namun, melihat wajah Anis yang harap-harap cemas, kami berusaha tidak peduli tentang betapa absurdnya permintaan itu. Kami bertiga menuruti permintaannya, berjalan bersisian, dengan Anis menempel di belakang seperti anak kecil yang butuh perlindungan.

Akhirnya, setelah sampai di kantin, Anis mengembuskan napas lega. Kami berempat memesan makanan masing-masing, lalu duduk di meja. (Maksudku duduk di kursi—ah, begitu deh pokoknya.)

"Jadi?" Dea angkat bicara.

Anis meremas-remas tangannya. "Kalau ada cowok ngajak jalan, itu artinya apa?"

Tata meletakkan sikutnya di atas meja, menopang kepalanya dengan tangan. Dia tampak berpikir keras sebelum menjawab, "Kalau menurut gue, artinya cowok itu lagi PDKT sama lo."

Aku mendengus. "Semua orang udah tahu itu, Ta. Lo lama mikirnya kayak lagi mikirin, tersusun dari apa aja alam semesta ini."

"Nah! Gue juga mikir begitu," kata Anis. "Lagi PDKT, maksud gue, bukan tersusun dari apa aja alam semesta ini." Dia mengibas-ngibaskan tangannya. Sejurus kemudian, dia kembali memasang wajah harap-harap cemas. "Ada yang ngajak gue jalan. Gue harus apa, nih?"

"Siapa, Nis?"

"Kalian tahu Kak Raja?" tanya Anis.

Aku nyengir. "Siapa sih, yang enggak tahu," kubilang. Memang benar. Lebih tepatnya, siapa sih yang tidak tahu si kembar Raja dan Kaisar? Sudah ganteng, kembar pula!

Setelah cengar-cengir bodoh beberapa detik lebih lama, aku baru menyadari sesuatu. Mataku melebar. "Raja, Nis? Raja yang ngajak lo jalan?!" (Tata langsung melempariku dengan tisu, seolah mengatan, "Yee, lo sama aja.")

Anis mengangguk lemah. "Gue harus gimana?"

Aku menjerit. Tidak bisa kutahan. Maksudku, bayangkan saja salah satu sahabatmu didekati oleh salah satu manusia ganteng di sekolahmu, yang populasinya lebih sedikit dari Badak Jawa! Kamu pasti akan menjerit juga, kan?

Pantas saja tadi Anis tidak mau melewati lapangan basket. Raja, kan, selalu berada di situ.

"Ya, terserah lo maunya gimana, Nis," kata Dea. "Lo mau, enggak, jalan sama dia?"

Anis baru hendak menjawab, namun Tata segera menyela, "Eh, bentar, bentar. Raja enggak mungkin tiba-tiba ngajak lo jalan, kan? Kalian pasti udah pernah ngobrol beberapa kali sebelumnya. Gue doang yang enggak inget, atau lo emang belum cerita?"

Anis tampak salah tingkah. "Em ... emang gue yang belum cerita." Dia nyengir bersalah. "Dia emang pernah ngajak gue ngobrol beberapa kali sebelumnya. Dan, anu ... gue kayaknya suka juga sama dia," lanjutnya dengan pipi yang bersemu.

"Terus, kenapa lo bingung, pas dia ngajak lo jalan?" tanyaku.

"Gimana, ya, ngejelasinnya?" Anis memandangi baksonya dengan kerutan di dahi, berpikir sebentar. Lalu, dia mendongak dan menatap kami semua, masih dengan pipi merah. "Kalian tau, kan, gue enggak berpengalaman soal ginian? Walaupun gue suka juga, gue bingung gimana harus ngejalaninnya. Jadi, sekarang gue lagi gantungin dia—dia udah ajak gue jalan tiga hari lalu, btw. Gue ngerasa enggak enak karena udah ngegantungin dia, tapi gimana, ya? Gue pun enggak nyaman sama dia yang—istilahnya—terlalu berani. Terlalu buru-buru."

A Babysitter's DiaryWhere stories live. Discover now