Tujuh Belas

6.2K 1.3K 109
                                    

"Oh iya, Q! Kok aku enggak inget-inget, sih?" ujar Raka sambil cemberut, marah kepada dirinya sendiri. "Kenapa aku belum bisa baca? Harusnya aku udah bisa baca dari kemarin-kemarin!"

Hari ini, aku mampir ke rumah Rangga lagi. Raka masih belum lancar mengingat beberapa huruf lainnya. Selain itu, aku ingin berterima kasih kepada Rangga. Namun, yah, aku belum melakukan yang terakhir itu. Entah kenapa tiba-tiba aku gugup dan tidak tahu bagaimana cara mengatakannya tanpa terdengar aneh. Tapi kalau aku tidak mengatakannya, aku sangat kurang ajar. Entahlah. Ini benar-benar aneh. Kenapa juga aku perlu gugup?

"Semua hal ada tahapnya, Raka," kataku. "Enggak mungkin kamu langsung bisa dalam sekejap. Alam semesta enggak langsung jadi seperti ini. Negara kita enggak langsung merdeka. Kamu lahir pun enggak langsung jadi bocah lima tahun, kan?"

Bibir Raka mengerucut.

"Gini, deh. Mending kita berhenti dulu belajarnya. Kamu istirahat dulu. Kamu pasti capek belajar terus-terusan," kataku. Aku agak kasihan juga melihat Raka stres sendiri karena tidak bisa mengingat huruf.

"Terus nanti aku belajar sama siapa, dong? Mas Rangga? Enggak mau," balas Raka. "Aku maunya diajarin kamu."

Aku memandangnya penuh rasa haru. Prediksi Mama saat aku pertama bekerja benar. Raka sekarang tidak mau lepas dariku.

"Aku bakal ke sini terus sampai kamu udah lancar."

"Janji?"

Aku mengangguk, sambil berusaha keras supaya tidak menangis.

"Ya udah. Sekarang aku mau nonton." Raka mencolek bahu Rangga yang sedang selonjoran di karpet sambil bersandar ke kaki sofa. "Mas Rangga, ganti ke Phineas and Ferb, dong."

Rangga menurut dan mengganti saluran televisi. Setelah dua bocah yang selalu bikin kakaknya gila muncul di layar, Raka menyandarkan punggungnya ke bantalan sofa dengan rileks. Matanya tertuju ke depan.

Aku menatap Raka, lalu Rangga. Aku berpikir keras. Ini kesempatanku untuk melakukannya. Aku tinggal memanggilnya, bilang terima kasih, katakan saja ini semua berkat dia biar dia senang, lalu sudah. Bakal aneh tidak, ya?

Tapi aku harus memanggilnya apa, ya? 'Rang', 'Ngga', atau 'Rangga'? Biasanya aku menggunakan yang kedua, tetapi aku baru sadar kalau panggilan itu agak aneh—

Tunggu sebentar. Kenapa juga aku memusingkan harus memanggil Rangga dengan apa?? Otakku kenapa, sih??

Sebelum aku bisa lebih gila lagi, aku akhirnya mengatakan, "Gue udah ngomong ke bokap nyokap gue."

Benar, tidak usah menyebut namanya supaya tidak pusing.

Rangga menoleh sambil mengangkat alis. "Yang bener? Wah, selamat kalo gitu. Lo jadinya bilang apa?"

Aku mengangguk. "Guru," kataku. "Makasih, ya. Berkat lo, gue dapet pencerahan."

Rangga terkekeh. "Gue emang keren," ucapnya sambil kembali menghadap televisi, membuatku tersenyum.

Sebentar, sebentar. Ada yang salah dengan kalimatku. Apa kataku? Membuatku TERSENYUM??

Aku pasti sudah gila. Bagian mana yang membuatku tersenyum, coba?

Karena linglung, aku memutuskan untuk mengambil air minum dari dapur. Lalu aku kembali ke sofa dan meminumnya. Kupijat-pijat dahiku. Barangkali dengan begitu akal sehatku akan kembali.

"Rin."

"Iya?" jawabku kelewat cepat.

Tanganku, yang tadinya kugunakan untuk memijat kepala, sekarang kugunakan untuk menaboknya. Ngapain sih aku menjawab kelewat cepat begitu? Nanti dia bakal mengira aku menunggu-nunggu dipanggil!

A Babysitter's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang