Lima Belas

6.7K 1.3K 190
                                    

Selama hari-hari berikutnya, teman-temanku berusaha untuk menghiburku. Terlalu berusaha menghiburku. Mereka terus mengatakan bahwa masih ada banyak ikan di laut dan segala macam kalimat serta usaha penghiburan lainnya. Jujur saja, bukannya terhibur, itu malah membuatku agak risi. Aku tidak sesedih itu karena Atar. Aku sudah mengatakan itu kepada teman-temanku, namun mereka malah membalas bahwa aku tidak perlu berpura-pura kuat atau apalah. Kalau belum jelas, yang pertama kali menyuarakan pikiran itu adalah Tata dan otak noraknya.

Jadi, ketika saat ini Anis, Tata, dan Dea mengajakku ke kantin untuk mencari 'ikan', aku menolak. Mereka baik-baik saja dengan keputusanku karena mengira mungkin aku hanya butuh waktu sendiri—pikiran Tata dan otak noraknya juga.

Aku menatap pintu kelas yang baru saja ditutup Anis, lalu mengembuskan napas. Sekarang setelah ketiga temanku pergi ke kantin, apa yang harus kulakukan?

Setelah bengong selama beberapa saat, aku bangkit dari kursi. Aku belum tahu tujuanku, namun kuputuskan untuk keluar dari kelas terlebih dahulu.

Begitu sampai di luar kelas, kutumpukan sikutku di atas tembok pendek yang mengelilingi koridor (kelasku berada di lantai dua). Pemandangan dari sini adalah lapangan basket sekolah. Aku menonton murid-murid yang sedang bermain basket selama beberapa menit. Ketika bosan, entah kenapa, aku teringat Rangga, dan aku berpikir pasti saat ini Rangga sedang bermain sepak bola. Tanpa banyak berpikir, aku menegakkan tubuhku dan melangkah menuju lapangan bola yang berada di bagian belakang sekolah.

Benar saja. Di tengah lapangan, beberapa murid sedang bermain bola. Aku langsung menemukan Rangga—bukan berarti aku berusaha mencarinya. Hanya saja, dia yang sedang menggiring bola, jadi ketika sampai, aku langsung melihatnya.

Aku duduk di kursi yang berada di pinggir lapangan ketika Rangga menggiring bola mendekati gawang. Dia mengoper bola ke temannya, lalu temannya itu mencetak gol.

Sepersekian detik setelahnya, sorakan terdengar dari teman-teman tim Rangga yang tersebar di lapangan. Walaupun ini hanya permainan kecil, kalau diperhatikan, wajah mereka benar-benar bahagia—termasuk Rangga. Aku sedih memikirkan kebahagiaan sederhana seperti ini tidak bisa dia bagi dengan ibunya. Seandainya Tante Eva berada di sini dan menyaksikan wajah semringah Rangga, apa yang akan dia lakukan? Menarik cowok itu dari lapangan, atau membiarkannya tersenyum lebar seperti yang sedang dia lakukan sekarang?

Permainan masih berlangsung selama beberapa menit kemudian. Ketika akhirnya pemainan selesai, kebanyakan orang-orang keluar dari area lapangan dan menuju kantin. Rangga berjalan ke arahku, namun tampaknya dia belum melihatku. Barulah ketika dia mengambil air mineral yang berada di sebelahku, dia menyadari keberadaanku.

Rangga memandangku sambil mengernyit. "Lo ngapain ke sini, coba?"

Ya ampun, kenapa, sih, dia harus menyebalkan begitu? Memangnya ada tulisan yang menyatakan bahwa aku tidak boleh duduk di sini??

Atau mungkin teman-temanku benar. Kurasa penolakan Atar memang sudah membuatku gila, sampai-sampai aku jadi sensitif begini. Padahal, sudah berhari-hari celetukan Rangga menjadi makan malamku.

Sebagai usaha menutupi kesensitifanku dan terlihat cuek, aku mengedikkan bahu. "Bosen di kelas."

Rangga hanya mengangguk-angguk. Lalu dia duduk di sebelahku dan meminum air mineralnya. Selama beberapa saat, kami hanya duduk bersisian dalam diam.

"Ngomong-ngomong, Raka kangen lo," kata Rangga tiba-tiba.

Aku menoleh dan menatapnya dengan mata membulat. "Serius?"

Rangga menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya ke kursi. "Ternyata ngurusin adik gue repot banget. Gara-gara lo, dia minta diajak ke Istana Baca terus dan minta dibacain buku cerita." Rangga menatapku dengan sebal. "Itu hal tercapek yang pernah gue lakuin, lo tahu? Kenapa sih lo bacain dia sejak awal? Dia jadi ketagihan. Udah gitu, dia terus-terusan ngebandingin cara baca gue sama lo," gerutunya.

A Babysitter's DiaryWhere stories live. Discover now