Empat

8.9K 1.6K 177
                                    

Setelah aku tahu bahwa Raka memang menyebalkan dari sananya, yang kubutuhkan adalah cara agar Raka menyukaiku. Akan lebih mudah mengurusnya yang menyebalkan-tapi-menyukaiku, daripada menyebalkan-plus-tidak-menyukaiku.

Jadi, sepulang sekolah, aku mampir ke minimarket terdekat. Aku mengorbankan tiga ribu rupiah uang jajanku untuk sebungkus permen cokelat, kemudian mengayuh sepedaku ke arah TK Raka sambil bersenandung. Yap, aku akan mencoba menjinakkan Raka menggunakan permen. Kalau Raka memang menyukai permen pemberianku, paling tidak, dia juga akan berubah sedikit menyukaiku, kan?

Sesampainya di TK Raka, aku melihat bocah itu sedang duduk di atas ayunan (kenapa ayunan lagi? Kenapa tidak perosotan? Sepertinya Tante Eva memang harus bikin ayunan di pekarangannya). Aku turun dari sepeda dan menyembunyikan bungkusan permen cokelat di balik punggungku dengan tangan kanan.

Aku berjongkok di depan Raka dan memperlihatkan deretan gigiku (yang tidak putih-putih amat). "Raka! Pulang, yuk."

Dahi Raka berkerut. "Rumah aku itu—"

"Ah!" Kutepuk dahiku menggunakan tangan kiri. Aku lupa bahwa mengajak Raka "pulang" sama terlarangnya seperti mengatakan "Voldemort" di dunia sihir. Aku harus sering-sering mengingatkan diriku. "Maksudku, ayo aku antar ke rumahmu."

Bibir Raka mengerucut, tetapi itu bukan masalah lagi. Aku punya penangkalnya.

Aku menahan kikikan, kemudian mengeluarkan tangan kananku dari balik punggung. "Aku habis jajan, lho. Mau, nggak?" tanyaku.

Dahi Raka masih berkerut. Dia melirik benda di tanganku, kemudian melirikku. "Mau, lah," jawabnya, menggunakan nada yang membuat pertanyaanku terdengar seperti pertanyaan paling bodoh sedunia.

"Makanya, ayo kita pulang!" Aku berseru dengan ceria, sama sekali lupa mengingatkan diriku untuk tidak mengucapkan kata 'P' itu. Jangankan mengingatkan diriku, aku saja sudah lupa lagi kalau kata itu merupakan kata terlarang. Terbuat dari apa sih otakku ini, otak-otak??

"Kamu enggak pulang ke rumahku."

Astaga! Siapa yang peduli, coba?

Aku hampir saja mendeliknya sebelum tersadar, bahwa aku sedang berusaha membuat Raka menyukaiku. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. "Iya. Yang kumaksud, kamu yang pulang."

Raka tidak beranjak. Aku mendesah, lalu mengusahakan senyuman paling manis. Kuayunkan bungkusan permen cokelat di depan wajah Raka. "Mau, kan?"

Raka menatapku sebentar dengan bibir mengerucut. Kemudian, tanpa mengatakan apa-apa, dia berlari menuju sepedaku dan menduduki sadel belakang.

Sambil mengembuskan napas lega, aku berdiri. Aku menepuk-nepuk rok bagian belakangku (tidak tahu juga untuk apa. Aku kan habis berjongkok, bukannya duduk), kemudian melangkah mendekati sepeda sambil menari Jaipong.

Bercanda—aku saja tidak tahu bagaimana cara menari Jaipong—tetapi intinya, aku sangat lega karena akhirnya Raka begitu mudah kuajak pulang. Bahkan tidak ada teriakan. (Terima kasih Tuhan, aku tidak perlu ke dokter THT.) Dia juga tidak begitu rewel—

"Ranselku jangan ketinggalan!"

Aku memutar kedua bola mata dan kembali ke ayunan untuk mengambil ranselnya.

[]

Kami sampai di rumah Raka beberapa menit kemudian. Begitu aku memutar kunci dan mendorong papan pintu, Raka langsung memelesat masuk.

"Lepas dulu sepatunya," tegurku.

"Ini rumah aku. Suka-suka aku, mau lepas sepatu atau enggak." Raka melempar dirinya ke atas sofa. Dia mengambil remot televisi, kemudian menekan tombol untuk menyalakan. "Permenku mana?" tanyanya sambil mengganti saluran televisi.

A Babysitter's DiaryWhere stories live. Discover now