Delapan Belas

7K 1.3K 136
                                    

Hari ini Kamis, dua hari menjelang pertandingan Rangga. Kemarin, Raka sudah berhasil membaca dengan lancar, sehingga saat ini aku bisa ikut berkumpul bersama teman-temanku di rumah Dea sepulang sekolah. Katanya, sih, mereka berencana menonton film. Namun sejak tadi aku tidak begitu memperhatikan percakapan mereka, karena aku sibuk memikirkan pertandingan Rangga.

Seperti yang kukatakan, aku ingin melakukan sesuatu. Aku harus melakukan sesuatu. Tetapi dengan cara apa? Apa yang bisa kulakukan untuk membantu Rangga? Kenapa juga aku repot-repot ingin membantunya??

"Lo kenapa, Rin?" Tahu-tahu, Dea sudah duduk di sebelahku di atas kasur. Dia mengamati wajahku dengan dahi berkerut. "Kayaknya dari tadi ngelamun aja."

Anis, yang sedang mengurusi DVD player Dea, menepuk dahi dengan telapak tangan kanannya. "Ah, iya," katanya. "Kita kan mau nonton film superhero. Duh, sori ya, Rin. Lo pasti keinget Atar kalau nonton ini. Kita cari film lain aja." Anis cepat-cepat membuka kotak berisi film-film Dea dan membongkar koleksinya.

"Bener juga," timpal Tata, "nanti TBC lo makin parah."

Aku mengernyit. "TBC?"

"Tekanan Batin karena Cinta."

Aku mengerang malas. "Guys," kataku, "gue udah pernah bilang, kan, gue enggak segalau itu? Dan gue enggak ngomong itu cuma untuk pura-pura kuat atau apalah. Gue serius. Gue aja enggak ngerti kenapa bisa begitu."

Ketiga temanku terdiam.

"Lo tahu, Rin?" celetuk Tata. Dia menelengkan kepalanya, dan kedua alisnya tertaut, seperti sedang berpikir. "Menurut gue, bisa jadi lo enggak segalau itu setelah ditolak kakak gue karena lo enggak sesuka itu sama dia."

Lagi-lagi, teman-temanku terdiam, namun sekarang mereka saling melempar lirikan penuh arti.

"Kalian kenapa, sih?" tanyaku heran.

"Dan bisa jadi," tambah Anis, "ada cowok lain yang lo taksir."

Aku mengernyit. "Gue naksir siapa, coba?"

Ketiga temanku saling berpandangan sambil tersenyum-senyum mencurigakan. Akhirnya, salah satu dari mereka berkata, "Rangga."

Aku nyaris tersedak air liurku sendiri. "Rangga??"

Dea tertawa. "Iya, Rangga."

"Ah, kalian ngaco!" sanggahku. "Ta, lo kayaknya kebanyakan baca Watt—"

"Please deh, Rin," sela Tata. "Lo pikir kita enggak lihat, waktu lo nolak ikut kita ke kantin dan malah ke lapangan bola buat ngobrol sama Rangga?"

Wajahku memanas. "Gue ke sana karena bosan di kelas, bukan buat ngobrol sama Rangga—"

"Iya, iya, terserah lo." Tata mengibas-ngibaskan tangannya. "Intinya, lo suka sama dia, kan?"

Aku terdiam. Memang, sih, aku senang karena belakangan Rangga tidak bersikap menyebalkan kepadaku. Lalu belakangan, aku juga sering merasakan perasaan aneh jika sedang bersama Rangga. Tapi apa itu berarti aku menyukainya—

Tahu-tahu saja, terlintas di pikiranku ingatan sewaktu kami mengobrol di ruang keluarga Rangga. Sewaktu dia menawarkan dirinya untuk mendengar ocehanku ... memikirkan itu, dadaku terasa hangat. Apalagi, Rangga yang membuatku tersadar dan memiliki keinginan untuk jujur kepada orangtuaku. Dan sewaktu dia memintaku menonton pertandingannya ...

"Nah! Lo mikirin apa sekarang?" Wajah Tata sudah berada di depanku. Matanya memicing. "Lo pasti mikirin Rangga. Kalau enggak, lo enggak bakal senyum-senyum kayak gini."

Aku segera memasang wajah datar.

Anis tersenyum geli. "Percuma, Rin. Kita udah keburu liat."

"Sampai lo senyum-senyum enggak waras gini, lo pasti punya banyak momen sama Rangga," kata Tata. Dia memanyunkan bibirnya. "Tapi lo belum pernah cerita apa-apa ke kita."

A Babysitter's DiaryМесто, где живут истории. Откройте их для себя