Tiga

10.8K 1.6K 365
                                    

Aku menuruni anak tangga dan berjalan menuju ruang keluarga. Di sana, sudah ada Bintang yang sedang membantu Bulan mengerjakan tugas. Sembari menunggu makan malam siap, aku merebahkan tubuh di atas sofa.

Aku mengembuskan napas panjang dan mengingat-ngingat kembali hari ini. Aku benar-benar kelelahan. Raka telah menguras tenagaku. Bocah itu sudah pasti tidak seimut tampangnya. Rupanya, pepatah jangan menilai buku dari sampulnya juga berlaku untuk bocah bertampang i—

Wuush! Duk, duk!

Aku menatap Papa dengan sebal. Walaupun sudah hidup dengan suara-suara aneh itu selama tujuh tahun terakhir, kadang, suara itu lebih mengagetkan daripada petir menyambar.

Jadi, Papa itu penggila golf. Obsesinya dimulai tujuh tahun lalu. Biasanya, Papa suka main golf di ruang keluarga, tepat di depan TV yang juga menayangkan saluran golf. Yang barusan itu, adalah suara ayunan stik golf, bola golf yang dipukul, dan bola golf yang memantul di tembok kosong (yang sengaja dikosongkan demi keselamatan barang-barang kami). Untungnya, Papa cukup memikirkan kelangsungan hidup kami semua dan menggunakan bola yang terbuat dari gabus jika bermain di rumah.

"Main tanpa berisik, enggak bisa ya, Pa?" tanyaku.

Papa mempertahankan posisinya (tahu kan, posisi sehabis mengayunkan stik golf) selama beberapa detik. Kemudian, dia menurunkan stik golfnya dengan penuh gaya dan berbalik badan.

"Kalo enggak berisik, mah, main gundu," jawab Papa.

Aku, Bintang, dan Bulan saling bertatap. Aku dan saudara-saudaraku memang tidak akur-akur amat, tetapi kalau Papa sudah melontarkan sesuatu yang garing, kami punya semacam ikatan batin. Kami akan saling bertatapan, dan dengan tatapan itu, kami berusaha menguatkan jiwa satu sama lain agar tidak terguncang.

Setelah Papa kembali bermain golf dan jiwa kami sudah cukup kuat, kami kembali ke kegiatan masing-masing.

"Daripada tidur-tiduran enggak jelas gitu, mendingan kamu bantuin Mama," kata Mama dari arah meja makan. Walaupun kurasa aktivitasku cukup jelas, aku tetap bangkit, kemudian membantu Mama menata piring.

"Eh, Ma," kataku saat menyadari bahwa jumlah piring di meja ada tujuh. "Hari ini Atar dateng?"

Mama mengangguk.

Otomatis, aku dan Bulan saling melirik. Atar! Aku dan Bulan sudah lama naksir berat kepadanya. Kalau Embun pulang malam, Atar seringkali mengantar kakakku itu ke rumah. Setiap mengantar, Mama pasti akan mengajaknya ikut makan malam. Kurasa itu adalah pertanda bahwa Mama sudah pasti akan merestui hubunganku dengan Atar.

Atar merupakan sahabat Embun sejak kuliah. Kebetulan, dia juga merupakan kakak Tata. Aku sampai heran, mengapa cewek supernorak seperti Tata bisa-bisanya sedarah dengan cowok superganteng dan super-cool seperti Atar. Aku juga supernorak, sih, tetapi paling tidak, seluruh anggota keluargaku menyandang gelar super-lainnya yang tidak lebih baik. Sebut saja Papa. Dia superjayus.

Ketika sedang menata meja makan, terdengar ketukan di pintu, yang diikuti suara orang mengobrol.

"Ah!" Aku segera meletakkan mangkuk besar berisi pindang patin ke atas meja. "Biar gue aja yang buka!" kataku sebelum Bulan sempat mendahului.

Aku memelesat ke arah pintu. Sebelum membukanya, aku mengatur napas dan merapikan poni. Setelah semuanya rapi, kuputar kuncinya, kemudian kubuka pintu di depanku lebar-lebar.

"Atar!" seruku, pura-pura terkejut. "Gue enggak tahu lo mau dateng."

Aku memasang senyum kaku. Sepertinya aku mendengar dengusan Bintang yang berasal dari ruang keluarga. Awas saja kalau nanti dia mengatakan yang macam-macam.

A Babysitter's DiaryWhere stories live. Discover now