Sebelas

7.5K 1.4K 221
                                    

Besoknya, saat aku membuka mata dan bangun dari tidur, aku masih mengingatnya. Bahkan di sekolah pun, beban itu masih ada. Aku benar-benar butuh menceritakan semuanya, tetapi kepada siapa? Aku tidak mungkin bercerita kepada teman-temanku. Yang mereka tahu, aku memang ingin masuk kedokteran. Kalau sekarang aku mengaku bahwa itu bohong, mereka akan berpikir aku tidak memercayai mereka—dan aku tidak mau itu terjadi.

Yah, setidaknya, pikiranku sempat teralih saat aku menjemput Raka. Ketika aku sampai di depan gerbang TK, bocah itu sedang duduk di ayunan.

Aku baru saja mau turun dari sepeda, namun tanpa kuduga, Raka lebih dulu turun dari ayunan. Sambil menenteng ranselnya, dia berjalan ke arahku.

Aku mengerjap-ngerjap. Apa Raka baru saja menghampiriku, bahkan sebelum aku menyodorinya permen? Apa aku tidak salah lihat?

Ya, ampun. Aku tidak menduga bahwa itu akan terjadi secepat ini! Aku cinta pekerjaanku. Aku ingin mengatakan bahwa hidupku sekarang sempurna, tetapi Atar belum juga menembakku. Jadi saat ini, aku hanya bisa mengatakan bahwa hidupku sudah nyaris sempurna.

"Kamu mikirin apa, sih? Cepetan jalan, dong!"

Aku segera tersadar. Ternyata, Raka sudah duduk di belakangku.

"Ah, iya," kataku. "Yuk, mari kita kemon!"

Aku yakin aku mendengar Raka mendengus meremehkanku, tetapi aku tidak terlalu peduli.

Beberapa menit kemudian, aku mengerem sepedaku di depan Istana Baca. Ada yang berbeda hari ini. Tidak seperti biasanya, saat ini, yang berada di balik meja penjaga adalah Raja. Ya, cowok ganteng yang kebetulan sedang mendekati temanku. Dia kakak Putri. Dulu dia sempat beberapa kali duduk di sana, namun sejak semester lalu, Putri yang selalu terlihat. Mungkin saat ini Putri sedang tidak bisa menjaga Istana Baca, jadi Raja menggantikannya.

Aku mengajak Raka turun dari sepeda dan masuk ke Istana Baca. Kami menyusuri rak-rak, sampai akhirnya berhenti di depan sebuah rak. Kalau kuhitung, ini yang ketiga kalinya kami berhenti di depan rak itu.

"Kamu mau yang mana lagi, Rak?" tanyaku sambil berjongkok. Aku menatap Raka.

Raka balas menatapku dan (lagi-lagi) mendengus meremehkan. "Tentu aja aku tahu apa yang aku mau. Aku kan bisa baca semua judulnya," jawabnya.

Alih-alih membunuhnya saat itu juga, aku tertawa. Kalau balasan sesinis itu keluar dari Rangga, mungkin aku akan melakukannya, tetapi mendengar kalimat itu muncul dari bocah dengan tampang seimut Raka benar-benar membuatku geli.

"Ya udah, maaf," kataku setelah puas tertawa. "Nih, coba kamu pilih yang judulnya paling menarik. The Twits, Matilda, atau Esio Trot?"

Raka terdiam sebentar. "Esio Trot."

Aku mengangguk sebagai sebuah "oke". Aku pun berdiri dan menghampiri Raja.

Setelah Raja mencatat semua yang harus dicatat di buku penjaga, dia menyerahkan Esio Trot dan kartu anggotaku. Aku mengambilnya, tetapi tidak langsung pergi. Aku sedang menimbang-nimbang di kepalaku. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan, namun aku tidak yakin apa Raja akan menganggapnya sebagai sesuatu yang penting.

Raja mengangkat sebelah alisnya. "Ada lagi yang mau lo pinjem?" tanyanya.

"Gue temennya Anis," kataku setelah mengambil keputusan.

Sebuah senyuman muncul di wajah cowok itu. "Kayak gue enggak merhatiin aja, siapa temen-temennya Anis," katanya. "Kenapa? Dia nyampein sesuatu ke lo?"

Aku menggeleng. "Enggak. Gue yang mau nyampein sesuatu."

Raja memasang tampang mendengarkan. Matanya memandangiku dengan cemas, seolah menduga aku akan menyampaikan sesuatu yang tidak ingin dia dengar.

A Babysitter's DiaryWhere stories live. Discover now