Sembilan

8.3K 1.5K 197
                                    

"Apa gue bener-bener harus ikut?"

"Ya iya, lah!" sembur aku, Embun, dan Bulan berbarengan.

"Tujuan dari kegiatan ini, kan, buat mencegah lo divonis jomblo seumur hidup!" Aku menambahkan.

Hari ini Sabtu. Rencananya, aku, Embun, dan Bulan akan melakukan makeover untuk Bintang. Namun, anak itu masih terlentang di atas kasurnya, barangkali dengan keinginan untuk kembali ke alam mimpi yang sangat besar.

Bintang mengerang malas. "Gue enggak butuh," katanya sambil menutup wajahnya menggunakan selimut.

Aku segera duduk di tepi kasurnya dan menarik selimut itu. "Coba lo ngaca. Lo butuh banget."

Bintang melirikku sambil mendengus. "Ya, tapi gue enggak mau."

Aku menatap Embun dan Bulan untuk meminta bantuan. Bulan pun berkata, "Bintang, lo enggak akan nyesel. Nanti, pulang-pulang, lo pasti bakal berterima kasih ke kita bertiga!"

Aku mengangguk-angguk bersemangat. "Iya! Lagian, apa lo yakin enggak mau? Coba, deh, lo bayangin, kalau lo ketemu cewek yang rambutnya berantakan enggak pernah disisir, mukanya kusam, kausnya udah belel ... lo pasti enggak bakal tertarik, kan?"

"Tertarik-tertarik aja," jawab Bintang, kembali menarik selimutnya. Aku tahu dia pasti asal menjawab.

"Ya, tertarik buat ngeliatin cewek itu," balasku. "Bukan dalam artian baik."

Bintang tidak membalas lagi. Di balik selimut, dia bergeming.

Embun, yang sejak tadi berdiri di ambang pintu kamar Bintang, kini melangkah masuk. Dia berjongkok di samping kasur Bintang. "Bintang, kita ngelakuin ini juga karena kita peduli sama lo. Kita ini cewek, dan Indah juga. Kita bertiga tahu apa yang cewek liat dari cowok saat kencan pertama."

Yah, itu tidak sepenuhnya benar. Embun mengatakan kita bertiga, namun nyatanya, aku tidak tahu—aku belum pernah pergi ke suatu kencan. Tapi, mengatakan itu hanya akan membuat saudara-saudaraku menertawakanku, jadi menutup mulut terasa lebih baik.

Bintang menyingkap selimut dan menatap Embun dengan kesal. "Gue bukan mau kencan."

"Ya, terserah. Apa pun itu, lo pasti mau tampil rapi!" Aku berkata ceria.

Bintang menatap aku, Embun, dan Bulan dengan wajah jengkel yang kentara. Akhirnya, dia menghela napas dan menyerah. "Abis itu langsung pulang, kan?"

"Yes!" Aku menarik tangan Bintang supaya dia bangkit duduk. "Cepetan lo mandi!"

Dengan malas, Bintang berdiri lalu keluar dari kamarnya.

[]

"Jadi, bisa kasih tau, kalian mau nyiksa gue dengan cara apa aja?" tanya Bintang ketika kami berempat berada di mobil Mama.

"Pertama," kata Embun sambil menatap lurus-lurus jalanan di depannya, tangannya berada di setir, "kita bakal singkirin sarang burung di kepala lo."

Aku, yang berada di samping pengemudi, mengangguk. "Yap. Gue sih penginnya kita ke salon elit, tapi, nanti uang yang dikasih Mama Papa bisa langsung abis. Jadi, kita ke tukang cukur langganan lo sama Papa aja."

"Lo bakal ganteng banget, Bin!" seru Bulan. Aku menoleh dan melihat Bulan mengguncang-guncang bahu Bintang. "Gue enggak bakal malu lagi ngaku-ngaku sebagai kembaran lo."

"Ya, dan gantian gue yang malu," gumam Bintang sambil menyingkirkan tangan Bulan, namun masih bisa didengar. Bulan menabok punggung kembarannya sebagai balasan.

"Terus," lanjut Embun, "kita ke mal untuk cari pengganti kaus Cubitus lo itu."

"Eh, kita beli kaus lagi aja!" kataku bersemangat. "Kaus polos. Nah, besok lo pake jaket juga, Bin, kayak Atar. Kan keren, tuh."

A Babysitter's DiaryWhere stories live. Discover now