Tiga Belas

7K 1.3K 130
                                    

"Gila! Keren banget!"

Aku mengangguk setuju, namun saat menyadari sesuatu, aku segera menghela napas. "Terus sekarang, kita harus nunggu berapa tahun lagi?"

Karena sekarang aku sudah bebas sepulang sekolah, hari ini aku, Dea, dan Anis bermain ke rumah Tata. Kami baru saja selesai menghabiskan Sherlock musim keempat. Oke, aku tahu kami agak ketinggalan, tetapi sebenarnya, kami sengaja menunda-nunda. Soalnya, begitu selesai menonton musim keempat, kami pasti segera menginginkan musim kelima (benar banget), dan kami tahu kami baru bisa menonton musim kelima seribu tahun lagi (itu pun kalau musim kelima bakal benar-benar ada). Secara, serial ini adalah serial favorit kami. Tetapi, dengan spoiler bertebaran di mana-mana, kami tidak tahan. Kami akhirnya berhenti menunda-nunda dan menonton musim keempat hari ini.

"Katanya, season lima bakal lebih lama lagi dari yang sebelum-sebelumnya," timpal Dea, hanya untuk membuat kami semua menyesal menghabiskan musim keempat dalam sehari.

"Harusnya kita nonton satu episode per hari aja, bukannya maraton gini," gumam Tata sambil memandangi layar laptopnya.

"Yah, besok-besok kita bisa nonton ulang dari season pertama," kata Anis.

"Boleh juga." Tata mengangguk-angguk. "Tapi ini emang keren banget, sih. Gue sampai merinding."

"Iya banget!" Aku berseru dengan semangat. "Sumpah, gue speechless pas Sherlock ngomong ke Eurus, 'You're high above us, all alone in the sky, and you understand everything except how to land. Now, I'm just an idiot, but I'm on the ground. I can bring you home.'"

"AAAH! Gue juga suka banget bagian itu!" pekik Tata dengan nyaring, membuatku balas memekik tidak kalah nyaring.

Sementara aku dan Tata saling menyebutkan bagian-bagian favorit masing-masing dengan volume suara melebihi normal, Anis dan Dea hanya tertawa. Akhirnya, setelah kelelahan mengeluarkan seluruh sisi norak kami, aku dan Tata mendesah panjang dan merebahkan diri ke kasur.

"Eh, ngomong-ngomong, Atar udah pulang belum, Ta?" tanyaku, tiba-tiba teringat Atar. Saat ini sudah sekitar jam tujuh, jadi seharusnya dia sudah pulang. Aku tidak tahu jadwal Atar, namun hari ini Embun pulang sore. Itu berarti, Atar tidak mungkin berada di rumahku dan ikut makan malam.

"Enggak tahu. Coba aja liat," jawab Tata.

"Ya udah, deh. Sekalian gue mau bikin Milo." Aku bangkit dari kasur.

"Gue juga bikinin, dong," celetuk Tata. Dea dan Anis langsung membeo.

Sambil mendengus, aku keluar dari kamar. Sebelum melangkah ke tangga yang mengarah ke bawah, aku menyempatkan diri untuk menoleh ke ruangan di sebelah kamar Tata—kamar Atar.

Pintu kamar Atar terbuka, membuatku bisa melihat betapa kontrasnya ruangan tersebut dengan ruangan di sebelahnya. Kamar Atar minimalis dan dindingnya dicat abu-abu, sedangkan kamar Tata serba-pink dan dipenuhi boneka serta poster. Kalau seseorang ke rumah Tata untuk pertama kali dan melihat kamarnya, pasti orang itu akan berpikir keluarga Tata punya anak perempuan berumur delapan tahun. Padahal, pemilik kamar itu sudah enam belas.

Aku menghela napas begitu menyadari tidak ada orang di dalamnya. Jadi, aku menghampiri tangga dan turun ke dapur.

Aku sedang mencari-cari bungkusan Milo di lemari dapur, ketika aku mendengar pintu depan dibuka. Lalu, terdengar suara langkah, sampai akhirnya seseorang muncul di dapur.

Atar tampak terkejut melihatku. "Rinai," katanya, membuatku nyaris kejang-kejang.

"Eh, Atar. Udah pulang?"

Aku segera merutuki diri sendiri. Serius, apa tidak ada pertanyaan yang lebih tidak bermutu? Tentu saja dia sudah pulang, dasar bodoh!

Atar mengangguk kikuk. "Yang lain di mana?"

A Babysitter's DiaryWhere stories live. Discover now