Enam Belas

6.3K 1.3K 119
                                    

Tentu saja kata-kata Rangga tidak bisa hilang dari pikiranku selama jam-jam berikutnya. Dan semakin aku memikirkannya, keyakinanku bahwa guru memang cocok untukku semakin bertambah. Buktinya saat ini aku sedang berada di kamar Bulan, mengajarinya Matematika.

Tadi aku sedang tidur-tiduran di kamar, ketika Bulan membuka pintu kamarku. Dia bilang, masih ada materi semester satu yang belum dia mengerti, dan dia memintaku menjelaskannya dari awal. Aku menurut saja, karena aku penasaran dengan kata-kata Rangga.

"Materi apa lo bilang? Kesebangunan? Coba gue liat catetan lo," kataku kepada Bulan, yang duduk di sebelahku di atas kasur.

Bulan membalik-balik halaman buku catatannya. Setelah menemukan apa yang dia cari, dia menyerahkan buku itu kepadaku. "Nih."

Aku meneliti catatannya. Dahiku langsung berkerut begitu mendapati catatan Bulan tidak sampai setengah halaman.

"Kok sedikit, Lan?"

Bulan mengangkat bahu. "Dulu, kan, gue belum rajin dengerin gurunya. Tapi kalaupun gue dengerin juga gue bakal bingung nyatetnya." Bulan menghela napas. "Habis gurunya enggak jelas. Ngejelasinnya lompat-lompat gitu."

Aku mengangguk-angguk paham. Iya, sih, aku juga tidak menyukai yang begitu. Beberapa guru di sekolahku seperti itu, jadi kadang, aku masih harus belajar sendiri di rumah supaya lebih mantap. Tidak jarang ketika guru itu mengajar, aku berpikir, "Ini gurunya sadar enggak, sih, kalau kita enggak ngerti?"

Aku bicara begini bukan berarti aku tidak menghargai guruku itu. Aku sudah memusatkan perhatian kepadanya dan berusaha sekuat tenaga untuk mengerti, namun apa yang dia jelaskan tetap sulit kucerna. Malahan, aku lebih mengerti belajar dari internet daripada diajari guruku. Kadang aku suka gemas sendiri dan berandai-andai, jika aku menjadi guru, aku akan menjelaskan semuanya secara runtut dari awal sampai akhir, tidak lompat-lompat begitu.

Tadinya, aku hanya asal berpikir. Aku tidak pernah benar-benar berniat mewujudkan itu. Namun sekarang, setelah mendengar kata-kata Rangga, aku jadi bertanya-tanya: kenapa tidak? Aku tidak pernah keberatan mengajari Bulan. Rasanya menyenangkan melihatnya memahami sesuatu karena penjelasanku. Ketika melihat wajah Bulan mulai cerah, lalu mendengarnya mengatakan dengan antusias, "Oh, gue ngerti!", itu membuatku sangat senang. Apalagi ketika tadi dia mengatakan, nilai try out-nya meningkat.

Bagaimana jika aku bisa melihat ekspresi itu dari banyak orang?

[]

Besoknya, setelah memikirkannya seharian di sekolah, aku membulatkan keputusan. Aku akan memberi tahu orangtuaku.

Oleh karena itu, ketika Embun, Bintang, dan Bulan sudah selesai makan dan kembali ke kamar mereka, aku tetap duduk di kursi makan.

"Ma, Pa," panggilku. "Aku mau ngomong."

Papa, yang berada di sebelahku, tertawa. "Itu barusan kamu ngom—"

"Aku enggak mau masuk kedokteran."

Nah, itu dia. Akhirnya aku mengatakannya. Ya ampun, aku telah mengatakannya!

Papa terdiam. Dia dan Mama saling berpandangan, seolah bertanya, "Kamu udah tau?" yang sama-sama dijawab dengan gelengan.

"Aku sama sekali enggak tertarik," kumulai. "Dulu, aku cuma asal iya-iya aja, karena aku juga mikir, 'wah, iya, keren ya jadi dokter.' Tapi lama-lama aku sadar, itu enggak bikin aku tertarik buat mendalami kedokteran.

"Di antara semua pelajaran IPA, aku paling enggak minat sama Biologi. Aku tahu untuk masuk kedokteran, enggak cuma Biologi yang harus dipelajarin—tapi kalian pasti ngerti maksudku. Walaupun aku tetap serius belajar Biologi, itu cuma supaya rata-rataku enggak rendah. Padahal, aku belajar tanpa minat. Dan aku bukannya enggak minat Biologi karena pelajaran itu susah—karena kalau soal susah, semua pelajaran ada kesulitannya. Tapi, di pelajaran lainnya, aku masih punya minat, dan entah kenapa itu enggak ada di Biologi. Terus juga, belajar kedokteran itu lama banget. Aku enggak yakin aku siap belajar selama itu buat sesuatu yang bahkan enggak menarik minatku."

Aku menarik napas sebentar.

"Selama beberapa lama, aku diam aja. Aku mikir, siapa tau lama-lama aku penasaran dan tertarik. Tapi, yah ... itu enggak pernah kejadian.

"Aku mikirin ini terus, dan ngebayangin suatu hari aku bakal ngasih tahu kalian. Tapi, dulu aku belum berani. Nah, belakangan ini, temen aku bilang sesuatu—kalau aku mutusin buat jadi dokter, aku cuma akan menuhin mimpi orang lain selama sisa hidup aku. Itu bikin aku khawatir. Akhirnya, aku punya kemauan buat jujur ke kalian.

"Masalahnya," lanjutku, "aku belum punya jawaban kalau kalian nanyain tentang apa yang kumau. Jadi, aku tunda dulu bicara ke kaliannya. Tapi sekarang, aku udah tau. Aku mau jadi guru."

Ruang makan dipenuhi keheningan. Aku agak takut memikirkan apa yang akan mereka katakan, namun kelegaan lebih mendominasi perasaanku. Maksudku ... ya ampun, aku telah memimpikan ini sejak lama. Aku mengatakan semuanya!

Papa berdeham. "Kenapa kamu takut untuk bilang dari dulu, Rin?" tanyanya.

Aku menunduk memandangi pahaku, tidak berani menatap Papa. "Aku takut Papa Mama kecewa."

"Enggak mungkin, lah, kita kecewa," kata Papa, membuatku mendongak. Dia tertawa. "Kita ini manusia, bukan binatang cokelat yang mirip kurma."

Butuh beberapa detik untuk menyadari, bahwa Papa sedang membicarakan kecoak.

Aku mengerang. "Aku serius, Pa."

Papa tersenyum. "Yah ... soal kecewa atau enggak kecewanya kita, enggak perlu ngebebanin kamu," katanya, yang disambut anggukan Mama. "Yang harus kamu tahu, kita dukung apa pun yang kamu mau. Karena, Rin, kalau suatu hari nanti, pas kamu udah jadi dokter sungguhan ... kalau suatu hari nanti Papa Mama tahu kamu enggak mengabdi sepenuhnya sama pekerjaan kamu, kita bakal lebih nyesel, karena kita yang bikin kamu melakukan itu. Karena kita yang bikin kamu memilih sesuatu yang bukan kemauanmu."

Mama mengangguk-angguk. "Mama pernah bilang, bahwa Papa sama Mama enggak pernah berhenti doain yang terbaik buat anak-anak kita." Mama tersenyum. "Barangkali, pilihan kamu memang yang paling baik buat kamu.

"Lagi pula, kalau dipikir-pikir ..." lanjut Mama, "guru itu enggak beda jauh sama dokter. Sama-sama menyembuhkan. Kalau dokter menyembuhkan orang-orang dari penyakit, guru menyembuhkan orang-orang dari kebodohan. Mana mungkin kita kecewa sama pilihan itu?"

Ucapan Mama membuatku tersenyum.

"Enggak usah pikirin kita, oke?" Papa mengacak-acak rambutku. "Temen kamu bener. Kamu cuma akan menuhin mimpi kita. Jangan lakukan itu. Yang harus kamu penuhi itu mimpimu sendiri."

Aku tidur sangat nyenyak malam itu.[]

19 Desember 2017

A Babysitter's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang