Empat Belas

7.5K 1.4K 109
                                    

Sesampainya di rumah, aku segera menaiki tangga dan melangkah ke kamar Embun. Namun, kakakku tidak ada di sana. Dan seingatku, dia juga tidak ada di lantai bawah.

Aku menghela napas. Aku harus berbicara dengannya, tetapi kuputuskan untuk mencari dia nanti saja.

Setelah meletakkan ransel di kamarku, aku ke kamar Bulan. Barulah ketika pintu kamar Bulan kubuka, aku melihat Embun sedang mengeluarkan baju-baju dari lemari Bulan. Sementara itu, pemilik kamar sedang duduk di kasur sambil membaca majalah, dengan buku PR Matematika tergeletak di sebelahnya.

"Abis dari mana, Rin?" tanya Embun sambil melirikku sekilas.

Aku terdiam. Embun belum mengetahui apa-apa. Tadi Atar memang sempat bertanya, apakah aku ingin dia memberitahu Embun, atau aku sendiri yang memberitahunya soal kejadian di rumah Tata tadi. Aku memilih pilihan kedua.

"Rumah Tata," jawabku.

Ada jeda sedikit dalam pergerakan Embun. Tetapi, dia segera melanjutkan kegiatannya seolah tidak ada yang terjadi. "Ooh. Atar ada?"

Aku menyambungkan ponselku ke charger Bulan, lalu duduk di kursi belajar. "Ada."

Kuamati ekspresi Embun. Aku tahu, pasti dia ingin bertanya lebih jauh. Maksudku, kamu pasti tahu rasanya—saat seseorang menyebut nama orang yang kamu suka, pasti kamu ingin terus berbicara tentangnya dan tidak ingin topik tentang dia berakhir. Namun aku juga tahu, Embun tentunya tidak ingin kelihatan menyukai Atar.

Pada akhirnya, seperti yang sudah kuduga, Embun tidak mengatakan apa-apa. Dia duduk di atas kasur dan mulai merapikan baju-baju Bulan. (Isi lemari adikku sangat berantakan. Kadang, kalau sedang bosan, Embun suka merapikan lemari Bulan. Embun senang rapi-rapi, tetapi dia sudah sangat rapi dan tidak punya sesuatu untuk dirapikan.)

Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat.

"Kenapa lo enggak pernah bilang, Bun?"

"Bilang apa?" tanya Embun sambil melipat kaus Doraemon.

"Kalau Atar ... pernah nembak lo," kataku ragu-ragu.

Tangan Embun berhenti di atas wajah Suneo. Lalu perlahan dia mendongak (Embun, maksudku, bukan Suneo). Matanya melebar.

Aku mengerti, Embun pasti sedang syok dan tidak sanggup mengatakan apa-apa. (Aku baru saja mengalami itu beberapa jam yang lalu.) Jadi aku berbicara lagi, "Tadi di rumah Tata, gue ke dapur sendirian buat bikin Milo. Terus gue ketemu Atar, dan dia tiba-tiba aja bilang mau ngomong sama gue. Dan ... yah, dia ngejelasin semuanya.

"Kenapa lo enggak pernah bilang ke gue?" tanyaku.

Aku melihat Embun memejamkan mata dan membukanya lagi sedetik setelahnya. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah. "Sumpah, Rin, gue enggak tahu Atar bakal ngomong ke lo. Gue minta maaf. Lo seharusnya enggak denger itu. Nanti gue bakal ngomong sama Atar dan—"

Aku cepat-cepat menggeleng. "Bukan itu maksud gue. Gue enggak pengin bikin lo merasa bersalah. Gue cuma pengin lo tahu kalau ...." Aku menarik napas dalam-dalam. Hatiku kembali sakit saat menyadari apa yang sedang kami bicarakan. "Gue cuma pengin lo tahu kalau lo bisa coba ngomong ke gue, Embun. Lo enggak perlu ngorbanin Atar dan diri lo sendiri demi gue. Lo tahu Atar enggak bakal suka sama gue. Gue enggak pantes lo perjuangin di situasi ini. Lo bisa ngomong ke gue sejak awal. Gue pasti bakal ngerti. Dengan begitu, lo enggak akan ngorbanin apa-apa."

"Dengan begini pun, gue enggak merasa ngorbain apa-apa, Rin. Gue cuma ... lebih sayang keluarga gue daripada seorang cowok."

Tahu-tahu, di kepalaku, kembali terputar kata-kata Atar. Embun sayang banget sama adik-adiknya. Lo beruntung punya kakak kayak dia.

Lalu, satu per satu, seolah ada yang memanggil, muncul beberapa ingatan tentang Embun. Dia yang memberi ide untuk memperbaiki penampilan Bintang. Dia yang memintaku melakukan sesuatu untuk mengeluarkan adik-adikku dari dunia masing-masing sewaktu kami berada di toko es krim. Dia yang menasihati kami semua untuk tidak bertindak terlalu jauh demi secuil perasaan.

Dia yang menolak Atar untuk melindungi perasaanku.

Rasanya ada sebuah beban yang menghimpit dadaku dan membuatku sesak napas. Kali ini karena rasa sayang yang amat besar untuk kakakku. Atar benar. Aku—dan adik-adikku—beruntung memiliki kakak seperti Embun.

"Oke," kataku, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menghambur dan memeluk Embun. "Maafin gue karena udah ngehalangin hubungan kalian. Gue bener-bener enggak tahu kalau kalian ...."

"Enggak perlu minta maaf." Embun menggeleng.

"Oke," kataku lagi. "Sekarang ... lo sama Atar enggak perlu lagi nahan perasaan masing-masing."

Embun terdiam. "Lo yakin?" tanyanya dengan raut cemas.

Aku tersenyum. "Embun, perasaan gue enggak bakal dibales. Gue enggak pantes dijadiin alasan kenapa kalian nahan perasaan masing-masing. Lo pantes dapetin hak lo. Gue mungkin belum sedewasa lo, tapi gue udah cukup dewasa untuk sadar."

Perlahan, raut cemas Embun menghilang. Senyuman lebar terbit di wajahnya. Dia lalu bangkit dari kasur. Dia berjalan ke arahku, lalu memelukku. Aku balas memeluknya.

"Belum sedewasa gue, lo bilang?" katanya. "Lo udah dewasa banget, Rin. Mungkin lo enggak sadar, tapi lo jauh lebih dewasa daripada yang lo pikir." Embun melepas pelukannya dan menatapku. "Thanks."

"Tunggu, tunggu." Seseorang berkata.

Kami berdua menoleh ke asal suara. Bulan. Aku lupa dia ada di sini.

"Jadi, Atar sebenernya suka sama Embun?" tanyanya dengan tampang horor. "Dan dia udah pernah nembak Embun?"

Aku tertawa. "Iya."

"Ya ampun!" serunya. "Gue enggak percaya ...." Bulan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Enggak, enggak. Kalian pasti bohong, kan?"

Aku mendengus geli dan duduk di kasur. "Kerjain PR lo, sana," kataku sambil mengedikkan dagu ke arah buku PR Matematika yang tergeletak di samping Bulan. "Lagian, masih ada sembilan cowok lainnya yang kayak Atar, kan? Cowok kayak Atar enggak bakal mau sama cewek males belajar kayak lo."

Bulan cemberut. "Gue enggak ngerti materinya."

Aku meraih buku Bulan dan membalik-balik halamannya. Akhirnya, aku menemukan halaman terakhir yang terdapat tulisan. Aku membaca apa yang tertera di sana.

"Oh, barisan dan deret," kataku. "Gue masih inget. Ini dipakai lagi di kelas sebelas. Mau gue ajarin?"

Bulan pura-pura tidak mendengar dan membalik halaman majalahnya.

"Gue udah nawarin, lho. Terserah lo mau ngertiin materinya apa enggak." Aku kembali melempar buku PR Bulan ke atas kasur.

"Oke, oke. Tunggu sampe gue selesai baca artikel ini."

Aku tersenyum. Sambil menunggu Bulan, aku mengamati Embun yang sudah melanjutkan kegiatannya sebelumnya. Dia melipat baju-baju Bulan sambil bersenandung pelan. Dia pasti tidak sadar, namun dia jelas-jelas terlihat lebih bahagia dari sebelumnya. Lebih ringan.

Mungkin, hari ini aku kehilangan Atar. Namun Atar hanyalah bagian kecil dari hidupku. Aku beruntung masih memiliki bagian yang jauh lebih besar—keluargaku.[]

a.n
Hmm, ini ngaret berapa lama ya? HAHAHA. Maaf ya makin ke sini makin ngaret. Udah gitu pendek lagi. (((Makin ke sini = makin banyak tugas dan ulangan.))) Kayaknya sekarang aku enggak bakal jadwalin update tiap Selasa lagi. Updatenya kalau sempet aja. Hehehe gapapa ya :""-)

20 Agustus 2017

A Babysitter's DiaryWhere stories live. Discover now