Bab 3

4K 462 45
                                    

Seluruh kelas IX berziarah ke pemakaman Radith. Haru biru mewarnai proses pemakaman teman kami tersebut. Setelah semua selesai kami kembali ke sekolah yang tak jauh dari pemakaman Radith.

"Sumpah, aku gak nyangka dia bisa mati dengan cara seperti itu, aku jadi takut belajar di sini," ujar Verisa dengan ekspresi tegang.

"Itu takdirnya, takdir kita juga sudah di tentukan, makanya cepat-cepat tobat gih," balasku.

Kami memasuki kelas kami untuk memulai pembelajaran. Tak lama kemudian Pak Anto datang, guru olahraga kami. Beliau meng-absen kami satu persatu.

"Baiklah, kalian boleh mengganti pakaian olahraga kalian dulu," ujar beliau.

Kami para perempuan pergi ke wc untuk ganti baju, sedangkan siswa cowok langsung mengganti baju di dalam kelas.

"Semuanya ke lapangan basket," pinta beliau.

Kami semua berkumpul di lapangan basket setelah semuanya telah mengganti pakaian.

"Ayo ikuti gerakan pemanasan bapak," ujar Pak Anto.

"Membosankan," bisikku.

Setelah selesai pemanasan, kami disuruh lari satu keliling lapangan.

"Huh, ulu hati ku sakit," keluh ku usai berhenti berlari satu keliling lapangan.

"Pemanasan nya gak betul sih," sahut Rivania yang tampak tidak kelelahan sama sekali.

"Ok, sesuai yang sudah bapak ajarkan, kalian lakukan permainan basket sesuai tekniknya, bapak ada rapat sebentar dengan guru olahraga yang lain, tolong di jaga sikapnya ya," jelas Pak Anto.

"Yes!" sorak semuanya, bahagia karena bisa bermain bebas tanpa di perhatikan Pak Anto, soalnya beliau terlalu memaksa kami untuk melakukan teknik dengan benar.

Yes, aku satu tim dengan Valentina dan Verisa, namun juga Adhian.

Pertama Dina men-dribling bola ke arah Dini, lalu Dini melakukan overhead pass ke arah Devan.

Dengan nekatnya aku menghalangi Devan untuk melewati ku.

"Kau hebat juga," ujarnya.

Aku hanya tersenyum sambil menyeka keringat di dahiku.

"Lex tangkap!" sorak Devan sambil melakukan overhead pass pada Alex yang ada di belakang ku.

Bugh...

Bola besar yang keras itu meleset dan mendarat di wajahku. Saking kencangnya pukulan Devan, tubuhku langsung tersungkur kebelakang.

"Woy! Bisa santai gak lu!" bentak Adhian sambil mendekati Devan.

Adhian mengepalkan kedua tangannya, dia tampak kesal.

Dia ngapain sih?

Bugh..

Adhian memukul pipi kanan Devan. Kemudian, Devan melakukan hal yang sama pada Adhian.

Aku yang kesakitan berusaha bangkit, tangan kiri ku memegang wajahku yang terasa perih itu, sedangkan tangan kanan ku untuk melerai mereka. Kemudian Valentina dan Verisa datang membantu ku melerai mereka.

"Udah! Udah! Kalian kenapa malah berantem sih, yang kena aja aku," ujarku.

"Hidungmu sampai mimisan begitu, masa kamu terima aja," balas Adhian dengan nafas sesak.

"Gua gak sengaja, namanya aja olahraga pasti ada kayak gitu, kalau gak mau kena bola, mending nonton aja sono!" bentak Devan menarik kerah baju Adhian kasar.

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora