Bab 14

2.4K 334 9
                                    

Kami diperbolehkan pergi, pintu kelas terbuka lebar dengan sendirinya dan Merah menghilang entah kemana.

"Bagaimana dengan jasad teman-teman kita?" tanya Devan.

"Kita butuh bantuan polisi dan Ambulance," sahutku.

"Siapa yang bawa hp?" tanya Adhian.

"Sepertinya tidak ada, semuanya trauma pasca razia hp sebelumnya," ujar Rivania.

"Haruskah kita yang mengurus semua jasad ini?" tanya Valentina.

"Harus, mereka teman-teman kita," ujarku.

"Bagaimana caranya?" tanya Verisa.

"Gimana ya? Sepertinya kita tak bisa mengurus jasad dengan kondisi seperti ini, kepala Viora saja sudah hampir putus, nanti justru putus karena kita mengurus jasadnya," ucap Karen.

"Baiklah, kalian tetaplah disini, aku akan mencari bantuan," ujar Devan.

"Ok, yang cepat ya, kelas ini udah mulai berbau," ujar Adhian.

"Ok, jaga mereka ya, Dhian," ujar Devan sambil berlari keluar.

Devan mengetuk sebuah pintu rumah. Devan tak mengatakan soal teror itu, dia hanya meminjam hp untuk menelpon polisi.

"Untuk apa?" tanya Ibu rumah tangga itu.

"Ada sesuatu yang harus aku laporkan bu," balas Devan.

"Baiklah," balas Ibu itu sambil menatap seragam Devan yang penuh bercak darah, dia pikir Devan butuh bantuan dari rumah sakit.

Setelah dipinjamkan hp, Devan langsung mengetik nomor polisi yang sangat dia hafal.

"Terima kasih buk," ucap Devan.

Tak lama kemudian segerombolan mobil polisi datang ke sekolah.

"Akan aku jelaskan pak," ujarku.

"Tidak, bapak sudah tau soal ini, hantu itu kan?" ujar seorang polisi.

"Benar, kami butuh bantuan bapak," ujar Della.

"Baiklah, ambulance sedang di perjalanan," ujar polisi itu.

Semua jasad di urus mereka secara hati-hati.

"Teman-temanku yang malang," ujar Karen.

Flashback On

Merah telah selesai menghitung, 11 orang yang tersisa berlarian memilih kursi.

"Siapakah yang akan menjadi korban terakhir?" bisik Viora.

"Kamu!" sergah Merah.

Sontak Viora langsung berlari ke arah pintu keluar. Dia mendobrak-dobrak pintu sambil berteriak-teriak.

Merah menghampirinya sambil menggenggam pisau. Tangannya yang menggenggam pisau itu masuk ke mulut Viora yang terbuka lebar karena berteriak. Menusuk tenggorokannya hingga tembus ke leher belakangnya. Teriakan Viora menghilang, darah segar mengalir di mulutnya. Merah memutar pisaunya, sehingga leher Viora hampir putus. Viora tersungkur, wajahnya yang putih bersih itu dipenuhi darahnya yang merah kental dan menjijikan.

"Permainan selesai," ujar Merah.

Flashback off.

Kabar ini telah diketahui banyak orang, terutama guru-guru kami. Mereka semua shock sekali, semua orang tua korban menemui anak-anaknya yang terbaring di ruang mayat.

"Apakah teror nya selesai?" tanya Fara.

"Tidak, Merah masih mengincar kita," ujar Nindy.

"Sekolah di tutup, kita akan aman," ujar Adhian.

"Tapi kursinya akan pergi mengikuti kita hingga Merah berhasil menjebak kita," ujar Nindy.

"Ah, kita pasti sadar dengan kursi itu, karena kita kan gak di kelas, soalnya di kelas ada banyak kursi yang sama," ujar Adhian.

"Tapi dia bisa menjebak kita, kita mudah lengah," ujar Karen.

"So be careful," ujar Rivania.

"Tidak, kita harus menyelesaikan masalah ini," ujarku.

"Betul, kita akan berkumpul di rumahku," ujar Adhian.

"Tapi, apakah kita akan diliburkan?" tanya Della.

"Ya iyalah, namanya aja sekolah ditutup," balas Karen.


Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang