Bab 15

2.4K 328 5
                                    

Pagi-pagi semuanya berkumpul di teras Adhian. Tampaknya mereka sangat serius menghadapi masalah ini, salut. Kami hening beberapa menit, berdiam di bawah cahaya keemasan mentari nan menghangatkan raga dan jiwa.

"Baiklah, kita harus cari tahu soal keluarga atau kerabat Merah," ujar Adhian.

"Bagus! Tapi bagaimana caranya?" sahutku.

"Upload di medsos kek," ujar Karen.

"Apaan yang mau di upload?" tanya Della.

"Gambaran tentang dia dan bertanya siapa keluarga nya," balas Karen.

"Aku gak yakin ini bakal berhasil, logikanya kalau kita gambarkan kondisi Merah yang berantakan seperti ini, tak akan ada yang kenal," balas Devan.

Seketika hening, semuanya bermenung memikirkan jalan keluar persoalan ini.

"Kenapa ya dia hanya bisa membunuh di saat seseorang duduk di kursi itu?" tanya Fara.

"Sepertinya ada tujuan tersendiri, bisa jadi untuk mengikat arwah korban di kursi itu," ujar Adhian.

"Apasih, gak nyambung," balasku ketus.

Della membuka layar hpnya dan melihat pesan di WhatsApp.

"Kata Bu Indah, kita bisa belajar lagi, polisi sudah mengurung kursi itu, sehingga tak ada yang bisa duduk di situ," ujar Della.

"Yah, padahal pengen libur," ujar Fara.

"Trus UN kamu gimana?" ujar Karen.

"Hehe," Fara tersipu malu.

==========================

Esok harinya...

"Wah, ditutup sepenuhnya pakai pagar besi," ujar Devan.

"Kaki kursinya di semen juga," ujar Adhian.

"Dah kayak di penjara aja," ujarku.

Tak lama kemudian guru IPA masuk.

"Baiklah, lupakan kursinya, buka buku bab 1," ujar guru itu.

"Bentuk 2 kelompok, 5 orang tiap kelompoknya," ujar guru itu.

Sedikit aneh dalam satu kelas berisi 10 siswa saja. Suasana riuh sekarang tak ada lagi, sepi sekali.

"Baiklah jawab lembar kerja ini," ujar guru itu sambil membagikan kertas.

Di tengah-tengah pembelajaran, kursi milik Merah memberontak seperti ingin di keluarkan. Semua pasang mata tertuju pada benda mistis itu. Tak lama kemudian kursi itu kembali tenang.

"Serem," ujar Verisa.

"Sudah, lanjutkan saja tugasnya," ujar Devan.

Lama waktu berjalan akhirnya jam istirahat tiba.

"Akhhh!!!" Valentina menjerit.

Ternyata ada kecoa di punggungnya.

"Tolongin Adhian, ambilin," Valentina panik.

Adhian menarik antena kecoa itu.

"Apakah ini yang namanya kecewa?" ujar Adhian.

"Kecoa!!!!" sergah ku.

"Canda aja gaes," balas Adhian sambil melepaskan kecoa nya.

"Makasih Adhian," ujar Valentina gugup.

Kelas kami di penuhi beberapa siswa kelas lain, mereka melihat kursi mistis itu.

"Wah serem ya, untung aku masuk 9.2,"

"Gak nyangka kursi biasa beginian di huni hantu,"

"Kenapa mereka gak kepikiran membuat pagar ini?"

Suasana riuh dan sumpek sekali.

"Kalian pada ingin duduk di kursi itu?" ujar Devan.

"Ya nggaklah,"

"Enggak banget deh,"

"Apaan sih, kami cuma liat-liat aja,"

Segerombolan siswa itu akhirnya pergi.

"Wah manjur," ujar Nindy.

"Abisnya berisik sih," balas Devan.

Tak lama kemudian tiba-tiba semua kursi berterbangan ke arah kursi Merah, tampaknya si Merah ingin merusak pagar besinya. Semuanya keluar dari kelas, tak ada yang ingin di kurung lalu dibunuh.

"Kau tak akan bisa menghancurkan besi itu," ujar Nindy.

"Diam! Aku ingin bebas," ujar Merah.

"Percuma, besinya hanya membengkok," balasku.

"Ku bilang diam!!" Merah melemparkan beberapa kursi ke arah kami.

Adhian dan Devan menarik kami keluar dengan gesit.

"Hampir saja," ujar Nindy.

"Makasih," ujar kami serentak.

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang