Bab 11

2.6K 333 11
                                    

Bang Mamat selamat, hanya saja tak bisa banyak gerak karena luka seriusnya.

"Arwah itu menginginkan nyawa," ujar Bang Mamat lirih, menahan sakit di saat berbicara.

"Yaudah jangan banyak bicara dulu, kami akan urus ini lebih lanjut," ujar Bu Nofi sambil berjalan keluar dari ruang rawat. "Kami harus segera menyelesaikan masalah serius ini."

Kami kembali ke sekolah, sedikit ketakutan tapi tekad kami sudah bulat. Hari sudah senja, kami masih saja berada di sekolah.

"Sebentar lagi sudah Maghrib, kalian pulang dulu, nanti dicari orang tua kalian," ujar Bu Nofi.

"Yaudah, Ibuk juga pulang, takutnya nanti terjadi hal yang tidak diinginkan," balas Adhian.

"Iya,"

Bu Nofi berjalan menuju mobilnya, mengendarai kendaraan roda empatnya keluar dari sekolah. Setelah Bu Nofi sudah menjauh, Devan dan Adhian berjalan pulang.

"Tunggu! Tidakkah kalian memikirkan apa yang aku pikirkan?" Ujar Nindy. "Kita tetap di sekolah, mencari cara agar Merah tiada."

"Jangan bercanda, pagi saja sekolah ini begitu menyeramkan, apalagi malam," balas Devan. "Aku takut kamu kenapa-napa."

"Yaudah, yuk pulang aja," ajakku sambil meraih pergelangan tangan Nindy lalu menariknya keluar sekolah.

"Jangan di tarik dong," keluh Nindy.

"Abisnya kayak siput," balasku.

Di depan pagar sesuatu terbang ke pundak Nindy.

"Ih apa tuh?" Nindy panik.

Devan mengambil benda itu.

"Apakah ini yang namanya kecewa?" Kelakar Devan.

"Kecoa!" Sahutku dan Adhian.

"Oh kecoa doang," ujar Nindy tampak santai, padahal dia nahan jijik. Ingin tampil santai di depan Devan.

~~~

Esok harinya...

"Belajar di aula aja dong Buk," ujar Rivania.

"Iya, takutnya di teror lagi," sahutku.

"Baiklah," ujar Bu Tia, guru IPA kami.

Semuanya berjalan menuju aula.

"Tolong bawakan satu kursi untuk tempat duduk Ibuk," pinta Bu Tia pada Adhian.

"Eh, di aula udah ada kursi Buk," ujar Valentina.

"Baiklah, gak jadi Dhian," ujar Bu Tia.

Tampak Bu Tia mengeluarkan gunting dan kertas.

"Ibuk akan berikan sepotong kertas kecil, kalian buat nama kalian lalu materi yang belum kalian pahami, kita perlu bersiap-siap sebelum menghadapi UN," Bu Tia memotong kertasnya sambil mulai duduk.

Tiba-tiba tangannya tak terkendalikan.

"Merah!" Sentak Nindy.

Bu Tia berusaha menahan tangannya yang menggenggam gunting itu. Beberapa laki-laki menolong Bu Tia, namun seperti ada yang mendorongnya kebelakang.

Ujung guntingnya menghadap ke leher Bu Tia, tangannya melemah dan Merah sudah berkuasa penuh.

Crass...

Ujung gunting menusuk leher Bu Tia sangat dalam. Semua siswa terdiam, membatu karena ketakutan. Tak lama kemudian Bu Tia batuk, darah segar muncrat ke arah siswa yang duduk paling depan. Ya itu Aku. Seluruh baju putihku dilumuri darah beliau. Merah belum puas, dia menarik guntingnya keatas dan kebawah hingga lehernya robek. Beliau terjatuh, kehabisan darah dan nafas. Devan berlari ke kantor, melaporkan ini semua pada Bu Lia atau Bu Nofi.

"Kursinya berpindah," ujar Nindy lirih.

"Bagaimana bisa?!" Aku sangat shock, gemetar menatap tubuh Bu Tia terkapar di atas lantai bersama helaian kertas HVS yang memerah berterbangan di sekelilingnya.

Ambulance datang menjemput guru IPA itu. Tiap hari selalu terdengar sireme ambulance, bagaikan bel sekolah yang sudah biasa kami dengar.

"Haruskah sekolah ini digusur?" Ujar Bu Lia shock.

"Jangan Buk, sekolah ini adalah sekola unggul, sekolah nomor satu di kota ini," sahut Bu Nofi.

"Apakah kursi yang kalian maksud itu tak bisa di hancurkan?" Tanya Bu Lia.

"Tidak Buk, api saja tak mampu membakarnya," balas Karen.

"Lalu bagaimana ini? Kasus ini sedang di lirik banyak orang," ujar Bu Lia. "Kita tak bisa liburkan kelas 9, mereka akan menghadapi UN."

"Masalahnya bukan pada kelas 9.4, tapi kursi itu," ujar Bu Nofi. "Kursi pembawa petaka ini bisa memakan banyak korban dengan berbagai cara."

"Biar saya sampaikan masalah ini pada kementerian pendidikan," ujar Bu Lia. "Moga-moga ada jalan keluarnya."






Merah : Kursi Belakang [Tamat]Where stories live. Discover now