Bab 8

2.9K 376 16
                                    

Aku terbangun dari tidur pada jam 05:00, karena tak ada yang akan aku kerjakan di pagi ini, jadi aku putuskan untuk siap-siap menuju sekolah. Palingan jam 06:00 dah siap.

Setelah selesai menyiapkan semua, aku berpamitan dengan orang tuaku, berjalan di jalan yang sepi dan dingin.

Setibanya di sekolah, aku melihat Pak Ali penjaga sekolah ini sedang membuka kunci pintu kelas satu persatu.

Aku memasuki kelas pelan, tak ada siapapun yang datang, aku terlalu pagi datang ke sekolah. Merinding, yang ada di dalam benakku adalah si Merah.

Bruk... Bruk... Bruk...

Suara mengetuk-ngetuk terdengar dari arah lemari buku.

"Siapa yang main petak umpet tuh?" Aku berusaha membuat diriku berani. Nyatanya jantungku berdebar kencang.

Darah mengalir dari sela-sela lemari buku itu, sangat banyak. Aku ketakutan, sontak aku berlari ke luar. Tapi pintu kelas terkunci dengan sendirinya.

"Pak Ali!!! Tolong!!!" Jeritku panik.

Tak ada sahutan, yang ada hanya suara pintu lemari yang terbuka pelan.

Semua kursi berjatuhan, dilanjutkan dengan meja, lalu lemari itu. Aku melangkah mundur hingga terhenti di depan ruangan, di depan papan tulis.

Hawa mendingin dan bau busuk muncul bersamaan. Seluruh tubuhku gemetar.

Tiba-tiba seseorang membuka pintu, oh ternyata Della Naveesa.

"Makasih banyak Del," ujarku sambil memeluknya.

"Eh? Kamu kenapa?" Della kebingungan.

"Lihat! Ada darah di lantai, semua isi kelas ini berserakkan," ujarku panik.

"Rena? Kamu tadi menghayal? Lihatlah, semuanya aman-aman saja," balas Della.

"Eh? Aku serius, tadi--itu--ada," kalimatku terpotong-potong karena nafasku sesak.

"Yaudah deh, tenang dulu,"

"Ya, terima kasih udah nyelamatin aku,"

"Hehe,"

Aku habiskan waktu mengobrol bersama Della, teman sekelas ku di kelas 8.

"Hai gaes, Fara Sadira Fredelina dan Maura Permata Devisya telah datang, pasti kangen kan?" Ujar Fara.

"Apaan sih, berisik aja," balas Della.

"Hehe, tau tuh Fara," ujar Maura.

"Lagi cerita apa tuh?" Fara mendekati kami.

"Jangan kepo ya," sahutku.

Mereka hanya tertawa dan meletakkan tasnya.

"Oh iya, korban kecelakaan kemarin itu gak bakal gentayangan kah di lokasi kecelakaannya?" Tanya Fara.

"Hush! Jangan bahas itu, ntar di gentayangin baru tau," sahut Della.

Bruk!

"Ampun! Ampun! Aku gak bakal bahas kalian," Fara ketakutan.

"Apasih, cuman tas aku jatuh aja," ujar Maura tertawa.

"Ishh, ngangetin aja," balas Fara geram.

Lama waktu berjalan, akhirnya semuanya sudah datang, kemudian bel masuk berbunyi.

"Untuk sementara, kalian belajar di aula," ujar Bu Indah.

"Kenapa buk?" Tanya Devan.

"Emangnya kalian mau kejadian kemarin terjadi lagi?" Ujar Bu Indah.

"Ya, nggak lah Buk," ujar Devan.

Semua siswa mengangkut tasnya menuju aula, disana kami belajar beralaskan karpet.

"Aduh punggung ku pegel," keluh Renata.

"Milih pegel atau mati?" Tanya Viora.

"Eh? Ya deh, aku gak mau belajar di kelas serem itu," balas Renata.

"Sini aku urutin," ujar Nindy sambil mendekati Renata.

"Huuu, baik banget, aku terhura," ujar Renata.

"Terharu!!" Sorak Karen.

"Astaga ngegas," ujar Viora.

Kami semua tertawa bersama, Renata merasa nyaman di urutin Nindy.

"Bu Indah mana sih? Lama banget," ujarku.

"Bentar lagi datang," balas Adhian.

"Siapa yang ngomong sama elu," ujarku.

"Ya ampun, jutek," balas Adhian.

"Biarin, bodo amat, emangnya situ siapa?" Balasku.

"Pangeranmu,"

"Ih! Aduh jijik,"

"Uh dasar, seorang putri tak bicara seperti itu,"

"Hush! Pergi sono,"

Adhian makin mendekati ku.

"Pergi, bukan deketin," ujarku ketus.

"Ha? Tambah deket? Ok ok," ujar Adhian.

"Iiiiii," aku geram, menyubit lengannya.

"Aww, sakit,"

"Makanya pergi sono, mau tambah lagi?"

"Kalau kamu yang nyubit aku tambah seneng,"

"Devan, tolong bawa si Adhian jauh dari aku," panggilku.

Devan hanya tertawa terkekeh-kekeh melihatku yang kesal.

"Ehm... Ehm..," tiba-tiba seisi aula mendehem.

"Acieeeee," lanjut mereka.

Wajahku memerah, malu banget. Aku dorong Adhian dengan sekuat tenaga.

"Iya, iya aku pergi," ujar Adhian.

Tak lama kemudian Bu Lia dan Bu Indah datang. Hari ini tak belajar, kami hanya di beri penyuluhan tak jelas. Beliau menjelaskan soal bagaimana kita berusaha untuk belajar fokus tanpa memikirkan teror itu, membosankan.

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Where stories live. Discover now