Bab 13

2.4K 346 15
                                    

Kali ini tak ada seorangpun yang berani melenyapkan kursi itu, mereka semua takut bernasib sama dengan korban-korban sebelumnya.

Sehari sebelum ulang tahun Bu Indah...

Semua orang sudah pulang sekolah, tinggal kami yang masih di kelas.

"Ok semua hiasan sudah di beli, tinggal menghias kelas aja," ujar Devan.

"Biar aku yang pasang balon tulisannya," ujar Kayla.

Kayla mengambil balon tulisannya satu persatu. Dia menaiki sebuah kursi dan menempel balonnya.

"Wow, perlu sepenuh dinding ya," ujar Kayla.

Huruf terakhir pas di ujung kanan tembok belakang. Kayla tak sadar kalau dia menaiki kursi Merah.

Bruk! Pintu terkunci dengan sendirinya.

"Gawat, merah mengincar banyak nyawa," ujar Kayla yang berlari terbirit-birit menuju pintu yang terkunci.

Kayla terpojok di sudut ruangan. Semua meja berterbangan menabrak dirinya dengan kencang bertubi-tubi. Seluruh tulangnya remuk, tak lama kemudian kepalanya hancur.

Lampu kelas berkedip-kedip lambat, membuat suasana semakin mengerikan.

"Mari kita mainkan permainan yang menyenangkan," ujar Merah.

"Tutuplah mata kalian, aku akan mengacak kursi di dalam kelas, setelah selesai akan aku berikan waktu 5 detik untuk duduk di kursi, yang terlambat akan mati dan begitu juga yang mendapatkan kursi ku," jelas Merah.

"Tidak, aku tidak mau bermain itu," ujar Vania.

Blarrr!!!

Kepala Vania meledak, sekarang Merah sangat agresif.

"Yang menolak dan curang, akan kubunuh kalian," ujar Merah.

Adhian mendekati ku.

"Kamu harus teliti, 5 detik itu cukup untuk memilih kursi yang aman," ujar Adhian.

Aku mengangguk gemetar.

"10 orang yang selamat, akan kubiarkan keluar," ujar Merah.

Semuanya tampak tegang, gemetar dan ketakutan.

"Mari kita mulai," ujar Merah.

Kami semua menutup mata, ingin rasanya membuka mata untuk melihat dimana kursinya Merah berada.

Blarr!!

Kepala seseorang meledak.

Blarr!!

Teman di sampingnya tak sengaja membuka mata untuk melihat siapa yang terbunuh.

"Selesai, buka mata kalian," ujar Merah.

"Satu... Dua... Tiga... Empat... Lima... "Merah menghitung sampai lima.

"Ada yang duduk di kursiku dan membiarkan kursi yang aman kosong," ujar Merah sambil berjalan pelan.

Siapa? Siapa? Hanya itu yang ada dipikiran semua orang.

Ternyata Gilang, dia yang duduk di kursi itu.

Merah merasuki Gilang, kepalanya berputar 360° selama 2 kali putaran. Terdengar jelas tulangnya hancur. Tak lama kemudian kepalanya putus, terpental ke genggaman Kiya.

"Akhhh!!!" Kiya menjerit sambil melepaskan kepala Gilang dari tangannya.

"Baiklah, mari kita lanjutkan," ujar Merah.

Semuanya berdiri di depan, menutup mata dan berusaha fokus. Kursi Merah tak memiliki ciri khas, kami kesulitan membedakannya. Hanya keberuntungan lah yang bisa membuat kami selamat.

"Buka mata kalian," ujar Merah lalu mulai menghitung.

Fokus! Fokus! Jika tadi kursinya ada di tengah-tengah ruangan, ada kemungkinan kursinya ada di depan atau belakang. Aku duduk di kursi sudut depan kanan barisan dua.

"Akkkhhhh!!!" Renata yang ada di depanku menjerit. Darah segar nan pekat meleleh di mulutnya. Jantungnya berasa di remuk.

"Renata!!!" Sorak Viora panik.

Renata mencakar-cakar meja karena kesakitan. Tak lama kemudian dia ambruk, mulutnya mengeluarkan potongan daging yang tampak seperti jantung.

Permainan terus berlanjut begitu menegangkan. Babak ke tiga semuanya selamat. Namun permainan terus berlanjut hingga menyisakan 10 orang.

Dan akhirnya...

Kelas dipenuhi darah, hari sudah larut malam. Tak ada yang sadar kalau ada banyak orang yang tersiksa di ruangan ini. Kini yang tersisa hanyalah aku, Adhian, Devan, Verisa, Valentina, Karen, Rivania, Nindy, Della, dan Fara. Selebihnya mati tergeletak di atas lantai dengan kondisi yang bermacam-macam, yang jelas benar-benar mengerikan.

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Where stories live. Discover now