Bab 4

3.5K 423 28
                                    

Hari ini sekolah di liburkan, para guru berziarah ke makam Pak Anto yang di kuburkan di kampung halamannya yang sangat jauh dari sini.

"Hmm, viral sampai ke TV ya," gumamku.

"Bu, aku berbicara langsung dengan hantu yang membunuhnya," ujarku pada Ibuku yang ikut menonton televisi bersamaku.

"Ah masa iya," balas Ibuku sambil meneguk teh hangatnya.

"Iya bu, namanya Merah, berambut panjang berantakan, mulutnya robek, dan wajahnya hancur," jelasku.

Ibu hanya terdiam, beliau berhenti meneguk tehnya.

"Kamu gak boleh menemui dia lagi, ibu gak mau kamu bernasib sama dengan teman dan gurumu itu," ujar Ibu tampak serius.

Aku hanya mengangguk.

======================

Esok harinya...

"Bisakah adek mendeskripsikan hantu itu?" Tanya salah satu reporter.

"I-iya, namanya Merah, berambut panjang berantakan, mulutnya sobek, wajahnya hancur, berpakaian lusuh panjang hingga mata kaki," jelasku.

"Lalu, apa yang adek lihat saat Merah membunuh korban?" Tanya reporter yang lainnya.

"Merah menyekik beliau, merobek mulutnya dengan kuku panjangnya hingga ke bola mat--" ucapan ku terpotong saat melihat Merah menatap ku dari belakang para Reporter dengan tatapan mematikan.

"Akkhhhh!!" Jerit Merah.

Para reporter juga mendengarnya, namun saat kamera di hadapkan pada Merah, dia menghilang.

Sesi wawancara berakhir, tiap reporter dari channel TV yang berbeda menyampaikan informasi ke studio.

Aku di bolehkan kembali kelas, berjalan pelan penuh ketakutan, Merah marah karena aku membicarakan soalnya.

"Wah, masuk TV," ujar Adhian saat aku masuk kedalam kelas.

"Ah biasa aja kali," balasku.

"Bu Indah mana?" Tanyaku pada Verisa.

"Belum datang kayaknya," balas Verisa.

Seperti biasa, kami mengisi waktu kosong dengan bermain-main, tak sama dengan kelas unggul itu yang selalu belajar berkelompok. Tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya, datang bersama petir yang memekakkan telinga.

Bruk! Bruk! Bruk!

Semua pintu dan jendela tertutup sendiri.

"Perasaan gak ada angin," ujar Devan.

"Betul, aku juga tak merasakan ada angin kencang," sahut Adhian berusaha untuk akrab kembali setelah perkelahian kemarin.

Bruk!

Papan tulis kami terjatuh. Para cewek berteriak ketakutan.

"Tenang tenang," ujar Devan selaku ketua kelas.

Aku melihat ke sekeliling, semua orang tampak panik, kecuali seorang gadis yang duduk di kursinya Radith.
Maksud ku, Merah!!

"Merah! Apa yang kau lakukan?!" Bentakku.

"Menjeritlah semuanya, hiburlah aku," ujar Merah.

Semua orang menatap Merah, seisi kelas semakin ribut. Semuanya mendorong-dorong pintu, namun gagal. Meskipun di dobrak.

Merah mendekati sekelompok siswa yang mengerumuni pintu. Aku masih duduk saat Merah jalan di dekatku.

"Kamu ngapain sih!" Adhian menarikku menjauh dari Merah.

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang