Bab 22

2.2K 311 5
                                    

Pagi ini aku sangat bersemangat untuk pergi sekolah. Karena apa? Ya, aku tak sabar ingin melihat kepala sekolah duduk di kursi kematian itu.

Ha ha ha!!

Kan ku nikmati tiap jeritannya sampai akhirnya dia tak bernyawa lagi.

Ha ha ha!!

Merah, akan ku bantu kau mendapatkan korban mu. Lakukan apa yang ingin kau lakukan, puas-puaskan lah dirimu.

°°°

Di sekolah...

"Merah, tukar kursi kepala sekolah itu dengan kursi mu," bisikku di dekatnya yang duduk tenang di kursinya.

"Baiklah, apakah aku bisa membunuhnya," balas Merah.

"Tenang, bunuh dia sepuas mu,"

"Baiklah,"

Aku tersenyum dengan penuh kejahatan, menanti kabar bahagia dari ruangan penting di sekolah ini.

Kepala sekolah sedang berjalan dari kantor guru menuju kantornya dengan sebuah dokumen tebal. Karena dia terlalu kelelahan mengurus dokumen sekolah, dia tak sadar bahwa kursinya telah di tukar Merah.

Aku berjalan menuju kantor kepala sekolah. Tampak kepala sekolah itu di cekik Merah sampai wajahnya membiru. Dia meronta-ronta meminta dilepaskan, dia berusaha menjerit berharap guru yang tengah sibuk itu menolongnya, namun suaranya tertahan. Dia kehabisan nafas. Tak lama kemudian wanita itu tersungkur lemas.

"Bu!! Kepala sekolah!!!" sorakku di depan pintu kantor guru, berpura-pura seolah tak tahu.

Majelis guru itu berlarian menuju kantor kepala sekolah, mereka tak menyangka menemukan atasannya dalam keadaan jasad yang membiru.

"Kenapa bisa begini Ren?" tanya Bu Nofi panik.

"Aku tak tahu, barusan tadi aku ingin mencari beliau," balasku berbohong, dalam hati sih aku bahagia sekali.

Bu Nofi menelpon Ambulance, berharap dengan sebuah tabung oksigen, wanita malang itu bisa bernafas lagi.

Lama waktu berjalan, akhirnya benda berjalan itu tiba dengan sirene nya yang memekakkan telinga.

"Cepat mas! Wanita ini sekarat," ujar Bu Indah saat wanita itu dipasangkan selang oksigen dan diangkat ke ambulance.

Semua guru panik, Bu Nofi memulangkan semua siswa.

"Aku gak nyangka banget kepala sekolah juga di bunuh Merah," ujar Nindy saat aku baru masuk ke kelas untuk mengambil tas.

"Aku bersengkongkol dengan Merah," ujarku santai.

"Eh? Maksudnya?" ujar Nindy mendekatiku.

"Ya, aku suruh Merah membunuhnya," balasku.

"Mana mungkin!"

"Tanyakan saja pada Merah,"

Nindy berlari ke kursi belakang itu, berbicara tegas pada Merah.

"Ya, dia yang menyuruhku, sangat baik sekali dia," ujar Merah.

"Woi! Apaan maksud lo Ren?!" sergah Nindy.

"Dia gak mau menghancurkan sekolah ini hanya karena gaji dan membiarkan siswanya mati!!" balasku dengan nada tinggi.

"Bukannya Kemdikbud yang melarang?!"

"Gak mungkin beliau melarang! Pemerintah mana yang membiarkan kami terbunuh sadis begitu saja?! Wanita itu hanya tergiur dengan gajinya yang lumayan besar itu,"

"Ya gak gitu juga kali!"

"Lo mau mati? Gua tanya nih!"

"Ya nggaklah!"

"Lalu kalau sekolah ini tak di hancurkan, kita semua bakal mati, makanya gua buang penghalang nya!"

"Ah bodo lah!"

"Padahal gua lakuin ini demi kita semua!"

Teman-teman yang lain terdiam melihat kami bersilat lidah. Adhian dan Devan berusaha mendekati kami, namun langkahnya terasa berat untuk memisahkan kami, kami kalau kesal sama-sama mengerikan, Adhian dan Devan takut jadi pelampiasan.

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang