Bab 33

3.4K 394 43
                                    

"Dhian!! Mana otak kamu!!" jeritku saat dia mulai duduk di kursi milik Merah.

Adhian sudah terlanjur duduk di kursi itu. Tiba-tiba dia tersungkur, lalu menjerit sangat keras. Ratusan lintah keluar dari mulut, lubang hidung dan telinganya. Menghisap semua darahnya. Di sisa hidupnya, dia melambaikan tangannya pelan padaku. Kemudian dia tak sadarkan diri, tubuhnya benar-benar kering tanpa darah.

Kemudian lintah-lintah itu kembali ke dalam tubuh Adhian yang malang itu.

"Adhian!!!" jeritku.

Rivania memanggil namaku lirih.

"Apa?" bisikku.

"Berikan aku minyak tanah dan korek apinya," balas Rivania.

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Berikan saja!"

Aku memberikan dia korek apinya, lalu aku meraih minyak tanah yang ada di belakangku.

"Selanjutnya?" ujar Merah.

Kami bertiga hanya diam.

"Aku!" ujar Rivania.

Kami yang dibanjiri air mata ini melirik Rivania yang menggenggam sebotol minyak tanah dan korek api.

"Kau harus siap-siap," bisiknya pada kami.

Rivania duduk di kursi itu. Lalu di siramnya tubuhnya dengan minyak tanah itu.

"Terima kasih teman-teman!" ujar Rivania sambil menghidupkan korek apinya.

Api menyelimuti tubuhnya, Rivania menjerit-jerit sambil berlari menuju Merah. Merah ikut terbakar, tapi dia tak terbunuh.

"Dia hanya memberikan kita waktu untuk kabur!" ujarku.

"Ayo cepat lari!!!" sorak Nindy.

Tapi Merah mengendalikan tubuh Rivania itu. Dia membuat tubuhnya berterbangan kesana kemari hingga membakar seluruh isi kelas.

Aku dan Nindy merasa sesak nafas. Namun, Nindy menarikku keluar kelas.

Tapi Merah menarik kaki kami kedalam kelas. Nindy di tarik menuju kursi milik Merah, setelah itu tubuhnya terbang menuju kipas angin yang terbuat dari besi di plafon kelas ini.

Aku belum pernah melihat kipas angin itu memutar secepat itu. Tubuh Nindy melesat ke kipas angin itu. Lalu kepalanya hancur, lehernya putus. Kepalanya jatuh tepat di hadapanku dengan mata yang membelalak.

Aku melihat botol minyak tanah yang masih berisi setengah minyak tanah. Botol itu belum terbakar, aku meraihnya lalu menumpahkannya di seluruh koridor lantai 2.

Tapi sebuah peluru melesat telat di betis kiri ku. Ternyata sekelompok polisi.

"Jangan Pak!" jeritku.

"Letakkan kedua tanganmu di atas kepala dan ikut kami!" balas seorang polisi.

Pemadam datang dan siap memadamkan api.

"Jangan dipadamkan!!!" jeritku sambil meronta-ronta saat tubuhku di tahan para polisi.

Kami menuruni tangga menuju mobil polisi. Namun saat aku di tarik menuju mobil polisi, aku berlari menuju mobil pemadam kebakaran itu dengan kaki yang pincang.

Aku yang tak tahu apa-apa tentang cara mengendarai mobil. Menancap gas menuju tiang-tiang di lantai 1.

"Semoga sekolah ini bisa ambruk!" ujarku.

Para pemadam yang memegang selang itu terseret karena mobilnya aku jalankan.

Bruk!!

Satu tiang hancur. Tiang yang tepat di bawah koridor kelas IX⁴. Koridornya runtuh menimpaku yang ada di dalam mobil. Kemudian sebagian kelas ku ikut runtuh.

Aku tak sadarkan diri di dalam mobil yang hancur lebur ini.

"Terima kasih," aku mendengar suara Merah.

***

Saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit.

"Apa yang kau lakukan!" bentak seorang polisi.

"Bapak ingat rekan Bapak meninggal secara massal saat membawa kursi dari kelas kami itu?" ujarku lirih.

"Kenapa?"

"Kursi itu dihuni roh jahat, dia telah membunuh teman-teman kami, bukankah beritanya sudah menyebar?"

"Bapak tahu, tapi apa hubungannya dengan membakar sekolah?"

"Dia ingin tenang dengan cara menghancurkan bangunan yang di bencinya,"

Setelah kejadian itu. Sekolahku di hancurkan dan diratakan. Semua guru dan siswa yang telah dibunuh Merah mungkin akan bisa tenang di alam sana.

Dari kejadian ini aku paham tentang arti sahabat yang sesungguhnya. Mereka yang rela berkorban, tetap bersama dalam keadaan apapun, dan selalu saling menghargai. Namun aku tak bisa merasakannya lagi, aku tak punya siapa-siapa lagi.

TAMAT

Jangan lupa baca cerita author yang lain ya :)

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Where stories live. Discover now