Bab 12

2.5K 343 7
                                    

Jam istirahat...

"Nindy kamu ngapain?" Tanyaku.

"Berusaha mengajak Merah berbicara," balasnya.

"Wah nekat banget," balasku.

"Demi kita semua," jawab Nindy.

Nindy duduk di kursi depannya Merah, tak ada secuil rasa takut dalam dirinya. Dia sudah terbiasa melihat yang begituan.

"Aku hanya ingin nyawa kalian, itu saja," ujar Merah lirih.

"Untuk apa?" Tanya Nindy.

"Menghibur diriku yang tak tenang ini," balas Merah.

"Andai aku bisa berbicara dengan Merah," ujarku tak sadar kalau mereka sedang berbicara.

"Aku bisa menolong mu, membuka mata batin," ujar Nindy.

"Kau bisa? Aku mau kok," balasku.

"Baiklah,"

Nindy memejamkan matanya, menunduk. Kemudian diarahkan semua ujung jarinya, di usapnya ke mataku yang terpejam itu.

"Buka matamu sekarang," ujar Nindy.

"Benar, berhasil," balasku.

"Merah, kenapa kau suka duduk di kursi ini?" Tanyaku.

"Suka? Tidak, aku membenci kayu ini, cerita dibaliknya menyakitkan," balas Merah.

"Maksudnya?" Tanyaku.

"Jangan bahas itu lagi!!!" Jerit Merah sambil memukul meja.

Kami mundur, meninggalkan Merah sendirian.

"Kenapa pucat gitu?" Tanya Adhian.

"Gak ada yang duduk di kursi itu kan?" Tanya Adhian.

"Udahlah, gak ada apa-apa," balasku.

"Eh temen-temen, 13 hari lagi Buk Indah ulang tahun loh," ujar Fara sambil memegang tali sweeter nya.

"Oh iya, ayo kumpulin iuran untuk merayakannya," ujar Maura.

"Ayo setor sama aku!" Perintahku sebagai bendahara kelas.

"Seribu rupiah sehari," sambungku.

"Jika 1000 dikali 13, dapat 13 ribu, dikalikan jumlah kita semua 20 orang, 260 ribu, weh bakal meriah tuh," ujar Rivania.

"Yang beli kuenya siapa?" Tanya Valentina.

"Kita berempat aja yuk," sahutku.

"Boleh," balas Valentina, Verisa dan Nindy.

"Menghias kelasnya kapan? Pulang sekolah sebelum ulang tahun itu aja," ujar Verisa.

"Ok," balas semuanya.

"Dina, tolong buatkan puisi untuk Buk Indah ya," pinta Devan.

"Kenapa aku?" Tanya Dina.

"Kamu kan suka sastra dan puitis orangnya," balas Devan.

Dina berjalan mundur, melambai-lambai kan tangannya dan menggeleng menolak. Tiba-tiba kursi Merah berpindah ke belakangnya Dina.

Dina terjatuh dan langsung terduduk di kursi itu.

"Akkkkkhhhh!" Dina menjerit.

Merah muncul di hadapan Dina, mengarahkan tangannya ke arah Dina.

Dina melayang menuju kaca jendela.

Crass!!!

Kepala Dina menabrak kaca jendela kencang, bersisa serpihan kaca yang berserakkan.

Semua serpihannya melayang menuju wajah Dina. Ujung tajamnya menusuk seluruh bagian wajah Dina, kemudian di tarik dari dahi hingga perutnya.

Berserakan, tubuhnya benar-benar hancur. Lagi-lagi Devan berlari ke ruang kantor, kemudian Bu Nofi menelpon ambulance seperti biasa.

Dina akan menemui kembarannya yang mati sama-sama mengenaskan.

"Aku sudah tak sanggup lagi!" Viora tampak ketakutan.

"Siapakah korban selanjutnya?" Ujar Rivania.

"Hanya Merah yang tahu," ujarku.

"Tunggu saja," balas Merah.

Tak lama kemudian beberapa polisi datang, menyuruh kami keluar dari kelas. Sekitar 4 orang polisi.

"Kelas ini tak layak dipakai lagi," ujar seorang polisi bertubuh agak pendek dari yang lainnya.

"Percuma, masalahnya hanya ada di kursinya pak," ujar Devan.

"Baiklah, kami akan membakar kursinya," balas polisi itu.

"Tidak bisa, nanti bapak akan terbunuh," balas Adhian.

"Tidak, kami bisa menanganinya," ujar polisi itu.

Ke empat polisi itu mengangkat kursinya. Tak lama kemudian semua polisi itu berasa dikendalikan. Tangannya mengambil pistol berpelurunya. Lalu meletakkan ujungnya di kepalanya

Dorrr!!

Mereka tersungkur, tangannya kaku memegang pistol itu. Kursinya kembali ke tempat asal. Lagi-lagi ambulance.

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Where stories live. Discover now