Bab 20

2.3K 304 6
                                    

Aku menjelaskan semua kejadian di sekolah tengah malam itu pada Bu Lia di kantor beliau. Wanita itu mengangguk-angguk mendengar ceritaku. Aku ceritakan semuanya, kisah Merah beserta petualangan kami bertahan hidup di antara puluhan arwah.

"Saat itu Ibu belum jadi kepala sekolah disini, jadi hanya almarhumah kepala sekolah lama yang kenal dengan guru hantu itu," ujar Bu Lia.

Aku jelaskan permintaan Merah untuk menghancurkan sekolah ini. Bu Lia tampak berekspresi menolak permintaan Merah, ia menjelaskan bahwa sekolah ini tak bisa di hancurkan begitu saja, sekolah ini adalah sekolah unggul, sekolah yang di lirik dari semua kalangan di provinsi ini, bisa di bilang sekolah terkenal.

"Tapi Merah akan terus meminta pertanggungjawaban, Bu," ujarku.

Wanita itu memijat dahinya, kepalanya sakit memikirkan jalan keluar teror ini. Dia mencatat semua penjelasanku lalu menatap catatan itu.

"Kemdikbud akan melarang Ibu atas permintaan penghancuran sekolah," ujarnya.

"Tapi kan Bu, nyawa teman-teman kami melayang dengan mengenaskan seperti itu, apakah Ibu tak tega?" balasku.

"Ibu mau saja memenuhi permintaan hantu itu, hanya saja Kemdikbud yang jabatannya tinggi daripada Ibuk melarang, Ibuk tak punya wewenang lebih,"

Aku menghela nafas, entah bagaimana jadinya jika nanti korban satu persatu berjatuhan lagi.

"Baiklah buk, terima kasih waktunya," ujarku dan pergi.

"Ya," balasnya mengangguk.

Aku memasuki kelas berisi cerita tragis itu. Teman-temanku mengerumuni ku. "Bagaimana Rena?" Mereka menunggu-nunggu keputusan kepala sekolah kami.

"Kemdikbud melarang sekolah kita untuk segera dihancurkan," ujarku menunduk.

"Ah sial, haruskah Kemdikbud itu di ancam atau... dibunuh, haha," ujar Della.

"Dasar psikologi, eh psikiater, apa namanya tuh," ujar Fara linglung.

"Psikopat!!" sentak Nindy.

"Entahlah, nyawa kita bisa saja menghilang setelah ini, besok, atau mungkin beberapa hari lagi," ujar Adhian.

"Yang salah guru Merah, tapi yang kena kami," ujarku.

Semuanya tampak khawatir.

"Yok bikin surat wasiat atau apa kek," ujar Karen.

"Berarti kamu pikir kau akan mati?! Kita harus usaha!" ujar Della.

"Ya sih, tapi kan kita tak tahu kapan mati, apa salahnya bikin surat sebelum mati," balas Karen.

"Kamu aja," ujar Della.

Karen kesal, dia duduk di kursinya dan merobek kertas dengan keras, suara robekannya sangat keras.

"Ngambek dah tuh," sindir Verisa.

Tak lama kemudian Devan mendekati Nindy.

"Eh, kalau kita benar-benar mati, gimana tuh?" ujar Devan.

"Ya dah takdir namanya," balas Nindy.

"Bukan itu maksudnya,"

"Lalu?"

"Mau bilang apa kek, biar nanti gak nyesal pas aku dah mati duluan,"

"Ah stop drama-drama,"

"Yaaah,"

Tak lama kemudian Adhian mendekatiku juga.

"Jika aku mati nanti, ragaku memang sudah tiada, tapi aku akan selalu ada di hatimu," ujar Adhian sambil memegang bahuku.

"Bucis! Alias Bucin Najis," balasku.

"Ah kok serem sih,"

"Biarin,"

"Kamu imut kalau cemberut, apalagi senyum,"

"Stop gombal-gombal!"

"Ah aku serius,"

"Bodo lah, aku tak peduli,"

"Nanti aku mati nyesal nya dunia akhirat loh, haha,"

"Apasih, jangankan nyesal, nangis pun tak akan,"

"Yakin?"

"Udah, udah, sono pergi,"

Aku dorong Adhian keluar kelas, dia hanya tertawa kecil melihat tingkah laku-ku.




Merah : Kursi Belakang [Tamat]Where stories live. Discover now