Bab 16

2.3K 331 20
                                    

Merah yang terkurung di balik pagar besi bagaikan di dalam bui itu merasa kesal. Dia kembali duduk di kursinya, menundukkan kepalanya.

"Jangan melihati kursi itu saja, hantu tak suka di lihat," ujar Aron Barnard siswa kelas sebelah, kelas 9.5.

"Eh! Eh! Lu ngapain di sini," ujar Devan.

"Ingin melihat pemandangan," balas Aron.

"Hmmm, apa maksudnya?" ujar Rivania yang sedang membaca novel.

"Ya, wajah imut kamu, ha ha ha," ujar Aron.

"Apasih bacot," balas Rivania sambil menutup novelnya kencang.

"Wah jutek ya, gak apa-apa, aku tetap sayang," sahut Aron.

"Siapapun tolong masukin ni anak ke dalam pagar besi itu, sono gombalin si Merah," ujar Rivania.

Aron hanya tertawa melihat Rivania berceloteh.

"Bel masuk ayo berbunyi lah," ujar Rivania yang muak dengan Aron.

"Ya deh, aku kembali ke kelas, jangan rindu ya," ujar Aron.

"Prett," balas Rivania terlihat jijik.

Tak lama kemudian Aron kembali ke kelasnya.

"Cie... Cie..." ujar Valentina.

"Apa sih," Rivania tampak kesal.

"Ya elah, terima aja kali," ujarku.

Akhirnya bel masuk berbunyi, kami melanjutkan pembelajaran. Kemudian waktu pulang tiba, semua siswa berlarian keluar. Ada yang jajan dulu, ada yang langsung pulang dan juga ada yang masih duduk di kelas.

"Tolong aku," rintih Merah.

Sontak kami semua yang bersiap-siap pulang menatap kursi itu.

"Kenapa tak bisa keluar? Biasanya bisa pindah tempat," ujarku.

"Kau salah! Jebakan ku berhasil!" Merah menghancurkan besinya hingga berkeping-keping tanpa menyentuhnya.

Bruk!

Semua pintu dan jendela tertutup.

"Buka pintunya!" bentak Nindy.

"Tenang, aku tidak akan mengajak kalian bermain tebak kursi itu, hanya saja kau harus berkeliling di sekolah ini, kau akan sadar misteri di balik sekolah ini nanti," ujar Merah.

"Tunggulah sampai jam 22.22, saksikanlah, dengarkanlah, rasakanlah semuanya pada saat itu," ujar Merah.

Aku menjelaskan apa kata Merah pada teman-teman yang tak bisa melihatnya.

"Sebentar, ada yang tak bisa melihatku? Baiklah, akan ku bantu," Merah mengibaskan tangannya.

Pandangan mereka selain aku dan Nindy memerah.

"Apa yang kau lakukan?!" Nindy panik.

Tak lama kemudian pandangan mereka kembali normal, hanya saja lebih dari itu.

"Wah jadi indigo," ujar Adhian.

Kami terjebak berjam-jam di sekolah ini, kami hanya menghabiskan waktu dengan mengobrol.

Akhirnya waktu yang Merah bilang tiba.

"Apakah orang tua kita tidak cemas?" ujarku.

"Tenang saja, sudah ku urus," ujar Merah.

"Apa?!" Verisa tersentak.

"Ada yang menggantikan mu," ujar Merah.

Tak lama kemudian...

Akhhhh!!!

Jeritan mengerikan terdengar dari depan kelas. Merah membukakan pintu, tak ada apa-apa di depan kelas.

Akkkhhh!!!

Lagi-lagi teriakan itu terdengar, tapi dari arah kantor guru.

Kami berjalan pelan, menengok kanan-kiri. Ini sudah hampir larut malam.

Akkkhhhhh!!!

Jeritan itu lagi-lagi terdengar dari dalam kantor guru. Kami mendekati pintu kantor guru. Saat gagang pintu kami tarik, hawa dingin terasa begitu kuat.

Tsssttt!! Tssttt!

Lampu kantor terlihat mengeluarkan percikan api. Tak lama kemudian seluruh lampu di sekolah padam.

Kami tak bisa melihat apa-apa di kantor guru yang gelap gulita ini.

Sebuah bayangan putih tinggi tampak jelas berjalan keluar kantor.

"Ikuti dia," ujar Merah.

Tanpa pikir panjang kami langsung mengikuti bayangan itu. Bayangan itu masuk ke kelas kami.

Dia berdiri di samping kursi Merah. Tak lama kemudian pandangan kami memerah, bayangan itu terlihat jelas, tampak seperti lelaki jangkung.

"Saksikanlah..." ujar Merah.

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Where stories live. Discover now