Bab 21

2.3K 308 13
                                    

"Tampaknya kalian menolak permintaanku, lihat saja nanti," terdengar suara bisikan seperti suara Merah. Ya itu memang si Merah.

"Maaf Merah, kami tak bisa menghancurkan sekolah ini, seseorang melarangnya," balas Nindy.

Merah menghilang begitu saja.

"Nyawa kita!!" sentak Rivania.

"Aku sadar akan itu, tapi cobalah untuk tenang, harus hati-hati," ujarku.

"Sial! Bagaimana bisa aku tenang," sergah Valentina.

Aku menghirup nafas panjang lalu menghelanya keluar, tetap saja aku tak bisa rilex.

"Kita minta izin pulang saja," ujarku.

"Ayo coba kita tanyakan pada Bu Indah," sahut Adhian.

Saat kami berjalan keluar kelas, pintu tertutup, jelas itu ulah Merah. Tak lama kemudian pintu terbuka kencang, tampak Merah berwajah mengerikan mengejutkan kami. Karena terkejut, Fara mundur kebelakang. Ternyata di belakangnya ada kursi Merah dan dia tak sengaja duduk disana.

"Lari!" sorak Karen.

Fara berlari sekuat tenaga. Dia melihat kebelakang untuk memastikan keberadaan hantu berwajah mengerikan itu.

Bruk!

Fara tersandung, dia hampir saja masuk kedalam pembakaran sampah. Kami semua berlari mengejar dia.

"Aku selamat!" ujar Fara sambil bangkit berdiri.

"Siapa yang bilang?!" Merah muncul dihadapannya secara tiba-tiba.

Fara dilayangkan Merah masuk kedalam pembakaran sampah yang membara itu. Fara terpekik kesakitan. Tak lama kemudian jeritan kesakitannya memudar. Tampak seluruh kulitnya bagaikan marshmellow yang meleleh. Api menyelimuti tubuhnya yang sedikit gempal itu. Tak lama kemudian api mulai mengecil, kami mendekati Fara yang malang itu, sedangkan Merah menghilang.

"Tinggal tulang terbakar api saja," ujarku.

"Sial! Kita harus segera menghancurkan sekolah ini," ujar Karen kesal.

"Kita kuburkan teman kita ini dengan tenang lebih dahulu," ujar Devan. "Aku akan meminta bantuan pada guru."

"Baiklah, cepat!" sahut Nindy.

Devan berlari menuju kantor.

"Buk! Merah membakar teman kami di pembakaran sampah," ujar Devan dengan nafas tak beraturan. "Sekarang tinggal tulang."

"Serius? Ibu akan telpon polisi untuk mengevakuasi tulangnya agar bisa diistirahatkan dengan tenang," ujar Bu Indah.

Lama kami menunggu, akhirnya dua unit mobil polisi dan satu mobil ambulance datang.

"Malang sekali nasibnya," ujar Bu Indah yang menyaksikan tulangnya yang hangus itu di kumpulkan para polisi.

"Aku benar-benar meminta untuk menghancurkan sekolah ini!!" ujarku sambil mendekati Bu Lia yang ada di samping Bu Indah.

"Sudah Ibuk bilang, Ibuk tak bisa!" bentak Bu Lia.

Aku muak sekali dengannya, dia lebih memilih bangunan ini dan gaji daripada nyawa muridnya. Kenapa tidak membunuhnya Merah? Akan aku bantu kau membunuhnya.

Mana mungkin Kemendikbud yang baik orangnya itu membiarkan sekolah ini memakan korban, aku tak percaya Bu Lia menyampaikan masalah ini dengan Kemdikbud.

Akan aku cari kesempatan untuk membuatnya duduk di kursi itu.

"Hei, ngelamun aja, ntar kesambet," kejut Adhian.

"Apasih!!" balasku kesal.

"Nanti kamu kesambet, kan kasihan," ujar Adhian.

"Hiya-hiya," balasku membuatnya terdiam.

Merah : Kursi Belakang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang