The Call Is Not Connected

55 3 2
                                    

Pusing, mual, pengin muntah tapi enggak bisa, terus-terusan begitu sampai rasanya kepalaku mau pecah. Lebih parahnya lagi, otakku berasa mendidih sekarang dengar tangisan Gibran yang kali ini entah apa penyebabnya.

"Bran! Gibran! Tolong dengar Bunda. Berhentilah nangisnya. Kepala Bunda pusing dengar kamu bolak-balik nangis terus," kataku dengan nada sedikit keras. Berharap bocah berumur lima tahun yang punya mata bulat dan rambut ikal mewarisi ayahnya itu mengerti.

Aku yang nggak tahan dengan tangisan Gibran spontan bangkit dari tempat tidur, dan itu justru memperparah rasa sakit di kepalaku.

"Ya Allah, Gibran!" teriakku, dan berhasil membuat pecah tangis bocah yang memakai kaus singlet dan celana pendek itu. Kuminta dia diam, tapi tangisnya justru semakin kencang.

Timbunan batu yang tadi seperti menimpa dadaku, perlahan longsor dan jatuh satu persatu bersama tetes demi tetes air mata yang perlahan membanjiri pipi.

Aku lelah, lelah sekali.

Kubenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Tangisku pecah, lagi dan lagi. Apa yang sebenarnya kutangiskan? Kemarahanku pada Gibran, atau kurangnya perhatian dari Mas Dani?

"Bunda ...." Gibran merengek memanggiliku. Tangan kecilnya menggoyang-goyang pundakku, tangisnya perlahan mereda.

Kuseka air mata. "Maafin Bunda, Sayang. Maafin Bunda." Kuciumi pipi bulatnya sambil terus meminta maaf.

"Bunda ...," panggilnya dengan suara terisak. Kedua tangannya memegangi tanganku.

Kupeluk Gibran sambil menepuk-nepuk lembut punggungnya untuk meredakan tangis. Cara ini selalu berhasil membuat Gibran berhenti menangis.

"Gibran pengin main sama Bunda, ya?" tanyaku.

Gibran menganggukkan kepala. Mata bulatnya yang masih basah, memandang teduh ke arahku.

Aku tahu, yang paling dirindukan Gibran sebenarnya bukan cuma aku. Setiap sore, ketika selesai mandi, aku selalu memperhatikan Gibran berdiri di depan jendela. Tatapannya kosong, jauh ke depan, entah apa yang sedang dipikirkan Gibran. Tapi aku yakin, Gibran bukan sedang melihat apa pun di luar jendela. Yang sebenarnya Gibran ingin lihat, adalah kepulangan Mas Dani setiap sore seperti biasanya.

Kuusap lembut rambut ikal Gibran. Alis tebal dan bulu matanya yang panjang, terlihat menggemaskan sekali kalau Gibran tertidur seperti ini.

Jujur, setiap melihat Gibran tidur, perasaan menyesal sering kali menghantui pikiranku.

"Harusnya aku tadi nggak marah, harusnya tadi suaraku lebih lembut." Aku selalu berkata seperti itu setelahnya. Tapi besoknya, ketika Gibran tiba-tiba menangis karena suatu hal, emosiku lagi-lagi tersulut secepat kilat.

Ternyata menjadi ibu nggak mudah.

Punya bayi lucu, bisa dicium, sama seperti teman-teman, dulu pemikiranku pengin punya anak seperti itu. Aku nggak berpikir jauh gimana repotnya harus begadang sampai tengah malam untuk menyusui dan mengganti popoknya; gimana repotnya menenangkan bayi yang rewel karena mau tumbuh gigi, gimana melelahkannya menjaga anak super aktif seperti Gibran yang baru tenang ketika tidur saja, gimana dan gimana lainnya yang aku nggak pernah memikirkan itu sama sekali dulu.

Aku benar-benar nggak terima dengan ucapan ibu-ibu di toko bronis beberapa waktu lalu. Saat Mereka bilang, "Mbak Anin hidupnya enak banget. Di rumah terus cuma ngurus anak, nggak perlu kerja kayak kita," dan ada banyak omongan mereka, yang intinya membandingkan hidupku dengan hidup mereka. Terang-terangan di depanku, dan Mas Dani waktu itu mengamini omongan mereka dengan senyum manis yang menampakkan deretan giginya.

Oh, bukan! Itu bukan senyum tapi tertawa. Mas Dani tertawa bahagia karena omongan ibu-ibu kecentilan yang lipstiknya merah cabe menor itu. Apa Mas Dani pikir itu lucu?

Aku sebenarnya nggak peduli dengan Mas Dani yang tertawa atau tersenyum saat mendengar omongan ibu-ibu kecentilan itu. Aku cuma merasa sedikit sakit dengan omongan mereka yang bilang, "di rumah cuma mengurus anak saja." Mengurus anak pakai kata cuma? Yang benar saja. Apa ibu-ibu itu nggak tahu gimana rasanya mengurus anak?

Hari ini bahkan sudah kali ketiga aku berusaha menenangkan Gibran yang menangis tanpa kabar berita. Sepagi ini, benar-benar masih pagi karena jam di layar HP-ku masih menunjukkan pukul sepuluh. Itu yang kata ibu-ibu itu cuma mengurus anak?

Semenjak aku hamil Gibran bahkan begitu sangat sensitif. Gibran gampang menangis cuma karena ingin tidur di pelukankanku. Gibran gampang menangis cuma karena ingin aku menyuapinya makan. Gibran gampang menangis karena Mas Dani enggak lekas pulang di jam yang biasanya. Itu yang kata ibu-ibu itu cuma mengurus anak?

***

Kupindahkan Gibran yang sudah tertidur dipelukanku ke bantal bergambar bus kartun kesayangannya.

Kukirimkan pesan ke Mas Dani sekali lagi, mengingatkan agar bisa pulang sore karena semalam sudah janji. Gibran pasti akan menangis kalau Mas Dani ingkar janji. Pesanku nggak masuk. HP Mas Dani nggak aktif begitu bunyi dari operator telepon saat kucoba menghubungi.

Kutelepon ke toko bronis. Nihil. Kucoba sekali lagi. Berhasil. Suara serak basah penerima telepon membuatku dengan mudah mengenalinya.

"Bapak ada, Vi?" tanyaku setelah sebelumnya mengucap salam terlebih dahulu.

"Wa'alaikumussalam. Bapak pergi, Bu," sahutnya. Suara berisik yang terdengar di telepon menandakan kalau cewek berkaca mata itu sedang sibuk melayani pembeli.

"Ke mana?"

"Belanja bahan dapur, Bu."

"Barusan pergi atau dari tadi?"

"Sudah dua atau tiga jam lalu, Bu."

Dua jam? Selama itu? Aku sendiri paling lama belanja bahan cuma satu jam. Semuanya tinggal pesan di toko langganan, setelah itu aku datang ke toko untuk mengambil pesanan. Mas Dani pergi belanja atau rekreasi, sih? "Oke, Vi. Nanti Ibu telepon ke Ria aja."

"Ibu ada perlu sama Ria?"

Tanganku spontan memukul kepala. "Bukan sama Ria, Vi. Tapi, sama pak Dani. HP bapak nggak aktif waktu Ibu telepon. Kamu bilang bapak lagi belanja, kan? Makanya Ibu bilang mau telepon ke Ria aja karena bapak kan pasti belanja sama Ria."

Begitu saja kok enggak paham, sih, Vi? Aku menggelengkan kepala.

"Tapi bapak belanja bukan sama Ria, Bu."

"Sama Dila?" tebakku cepat. Ria dan Dila karyawan yang bekerja di bagian dapur produksi, salah satunya biasa ikut setiap kali aku belanja bahan bronis di toko langganan.

"Bukan, Bu."

"Terus siapa?" tanyaku yang mulai nggak sabar dengan jawaban Vivi yang bertele-tele.

"Bapak pergi sama Tika, Bu," sahut Vivi dengan suara serak.

"Tika?" Aku mengulang ucapan Vivi untuk meyakinkan pendengaranku.

"Iya, Bu."

Kututup telepon dan langsung mencari nomor telepon Tika di aplikasi Whatsapp. Tiga jam belanja sama Tika? Yang benar saja!

Tanganku mendadak dingin saat melihat status yang dibagikan Tika tiga jam yang lalu di aplikasi itu. Tika membagikan sebuah gambar, dua jari kelingking yang saling bertaut di atas meja berwarna coklat. Entah kenapa aku merasa nggak asing dengan salah satu jari kelingking di gambar. Bahkan bekas luka di dekat kuku, dan bulu lebat yang tumbuh di jari kelingking itu. Aku memperbesar gambarnya menggunakan dua jari. Mas Dani? Itu benar jari Mas Dani?

Third Storm #IWZPAMER2023Where stories live. Discover now