Different

11 2 0
                                    

"Beli baju lagi, Mas?" tanyaku saat melihat Mas Dani menenteng plastik putih bergambar baju.

Mas Dani mengangguk kemudian berjalan masuk ke kamar. Aku berjalan mengikuti Mas Dani, meninggalkan Gibran yang sedang menonton TV.

"Baju Mas sudah jelek, Nin," terang Mas Dani ketika aku berhasil masuk ke kamar menyusulnya.

"Jelek apanya? Masih bagus lho itu, Mas!" tunjukku ke lemari baju.

Mas Dani menoleh ke arahku dengan kedua tangan sibuk membuka kancing kemejanya.

"Mas pengin kelihatan fresh. Masa tadi waktu di taman ada yang bilang Mas 'om-om'?"

"Taman? Mas ke taman? Olah raganya di taman?" Aku bertanya sambil melipat tangan ke dada. "Katanya nge-gym?"

Mas Dani menggaruk tengkuk menggunakan tangan kanannya. "Cari udara segar," jawabnya tersenyum samar, lalu masuk ke kamar mandi.

Aku membuka plastik belanja Mas Dani, saat lelaki berambut ikal itu mandi. Kugelengkan kepala saat melihat tiga potong baju yang masih ada banderolnya. Pantas saja kalau satu potong baju kaus lengan pendek dibanderol seratus delapan puluh lima ribu, ternyata saat kubaca alamat tokonya, letaknya di mall Jalan Ring Road yang terkenal itu.

Ini nggak wajar menurutku.

Soal Mas Dani yang punya hobi baru olah raga dan ikut komunitas kesehatan apa lah itu, aku bisa maklum. Tapi soal gaya hidup Mas Dani, rasanya nggak bisa ditoleransi lagi.

Belakangan ini Mas Dani bisa berlama-lama di depan kaca saat akan keluar rumah. Memang sepenting itu kah omongan orang di luar sana, sampai harus mengubah gaya berpakaian seorang Ramadani? Cuma karena ada yang bilang om-om? Lagian memang benar, kan?

Sudah umur tiga puluh lima tahun, memangnya Mas Dani mau dipanggil 'abang' begitu?

Mas Dani keluar dari kamar mandi mengenakan balutan handuk dan rambut basah menguarkan aroma buah.

Satu lagi yang nggak Mas Dani banget selain suka belanja, olah raga, adalah ini: keramas malam.

"Mas ganteng, ya?" tanya Mas Dani sambil menyisir rambut menggunakan jari.

Aku memejam, menghela napas, lalu mengulum senyum.

"Nggak ikhlas gitu senyumnya," protes Mas Dani yang sedang membuka lemari baju.

"Gimana mau ikhlas kalau Mas beli baju setiap hari? Minimal ya ... minimal kali-" Aku sedikit menekan nada suara. " Beliin satu baju lah buat istri. Ini yang dibeli bajunya sendiri."

Mas Dani menelengkan kepala. Kubalas dengan tatapan tajam ke arahnya. Bukannya merasa bersalah, Mas Dani justru tertawa.

"Dasar kaum hawa!" tukas Mas Dani memakai kaus lengan pendek yang sudah dipilihnya.

"Apa?" Aku mengeraskan suara karena mendengar nada mengejek dari ucapannya.

"Pura-pura marah, padahal mau juga," sahut Mas Dani memakai celana pendek, lalu berjalan mendekat dan langsung menyubit pipiku.

Siapa bilang pura-pura marah? Apa masih kurang seram mukaku, ya?

"Nggak usah melotot," komentar Mas Dani merebahkan badan di tempat tidur. "Anin itu manis, nggak cocok jadi antagonis!"

Aku mengerutkan alis. Antagonis katanya?

Mas Dani yang sadar dengan tingkahku langsung menyahut, "Di film-film itu antagonis, kan, yang jahat dan suka marah?"

"Antagonis bukan orang jahat, Mas!" seruku tak terima.

"Jadi apa?" Mas Dani bertanya sambil memainkan HPnya.

"Antagonis itu yang menghalangi tokoh utama dalam suatu cerita. Bisa jadi malah antagonisnya itu lembut, kalem, kayak Tika," sahutku asal saja.

"Kok Tika?" Mas Dani menoleh dari layar HPnya.

"Ya kalau ceritanya istri yang pengin mempertahankan keharmonisan rumah tangga, terus malah suaminya tergoda karyawannya, berarti Tika, kan, antagonisnya?"

Mas Dani berdecak. "Ngawur itu!" tukasnya lalu menyugar rambutnya.

"Contoh itu, Mas! Contoh lho, itu," kataku yang langsung dihadiahi rengkuhan pelukan.

Aku memperhatikan Mas Dani yang tersenyum di sebelah kepalaku. Aku merasa ... ada sesuatu di balik senyum itu.

Third Storm #IWZPAMER2023Where stories live. Discover now