Meet

6 1 0
                                    

Sesuai janji Mas Dani, Tika datang ke rumah siang ini. Sebelumnya Mas Dani  meminta izin melalui pesan, supaya membonceng Tika dari toko. Alasannya supaya menghemat ongkos, sekaligus Mas Dani pulang makan siang. Dua alasan yang diajukan Mas Dani, nggak satu pun kuaminkan. Untuk makan siang Mas Dani, aku mengirimnya ke toko melalui ojek online.

Dasar kutu air! Bisa-bisanya ya dia, mau kambingin ratu singa. Ya, nggak mempan!

Kupersilakan Tika duduk di sofa ruang tamu.

Cewek berlesung pipi itu tampil polos mengenakan celana jeans panjang warna abu, dan kaus lengan pendek berwarna biru.

"Nggak usah repot-repot, Bu," ujarnya saat melihatku membawa dua gelas jus jeruk di nampan.

"Anggap aja rumah sendiri," sahutku basa-basi.

Tika mengulum senyum saat kupersilakan untuk minum. Warna merah alami pada bibirnya, benar-benar membuatku semakin iri saja. Aku bahkan harus menggunakan pelembab bibir dan semacamnya supaya warna bibirku kelihatan merah alami. Tapi sayang, hasilnya nggak sesuai dengan ekspektasi.

"Gimana kabar orang tua? Sehat?" Aku memulai obrolan.

"Alhamdulillah. Sehat, Bu."

"Kamu tinggal di sini mengekos atau sama keluarga?"

Tika mengulum bibir sampai lengsung pipinya jelas terlihat. Cewek berambut pendek sebahu itu terlihat memikirkan sesuatu. "mengekos, Bu," sahutnya, yang membuat otakku semakin berpikiran ke mana-mana.

"Kemarin sakit diantar Bapak ke indekos?"

"Kanda- Uhm ... maaf, Bu. Bapak maksud saya. Cuma ngantar sampai ke depan gang aja. Nggak sampai ke kos, Bu."

'Kanda! Yang benar saja? Tahan, Anindya! Kamu nggak boleh tergoda setan durjana.'

"Bapak bilang kamu sudah dianggap seperti adik. Betul begitu?"

Tika tersipu. Pipinya yang tanpa mekap itu terlihat merah merona.

"Begini, ya, Tika-" Aku menjeda, sampai membuat Tika mengangkat kepala. "Sebagai Kakak- Kamu menganggap saya begitu, kan?"

Tika menganggukkan kepalanya.

"Saya nggak pengin lihat kamu kelelahan bekerja. Di toko lagi ramai sekali, kan, sebulan belakangan? Saya bermaksud ingin menawari kamu kerja di toko HP, milik teman saya. Kebetulan dia baru buka. Kemungkinan besar tokonya belum begitu ramai sekarang. Jadi kamu nggak begitu lelah kerjanya. Gimana?"

"Saya sudah nyaman di sini, Bu." Jawaban Tika di luar yang kukira.

"Iya, saya tahu. Tapi di sini ,kan, kerjanya ekstra. Nggak dapat tempat tinggal pula. Di sana kamu kerjanya enak, dapat tempat tinggal, ditanggung makan juga. Kan lumayan, uang yang sebelumnya untuk bayar kos dan makanmu, jadi bisa dikirim ke orang tua."

Suasana mendadak hening seketika. Tika masih diam nggak bereaksi apa-apa.

"Nanti saya pikir-pikir dulu, ya, Bu," ujarnya. Membuatku sedikit lega.

"Saya nggak bermaksud memecat kamu, lho, ya! Sebagai KAKAK, saya pengin kamu bekerja di tempat yang semestinya."

Tika mengangguk dan tersenyum tipis.

Aku memesan ojek online untuk mengantar Tika, meski cewek berkulit kuning langsat itu berkali-kali menolak dan mengatakan ingin naik angkutan kota saja.

"Jauh, Tik, kalau mau naik angkot. Kamu harus jalan lima ratus meter ke simpang jalan besar baru ketemu angkot."

Di Medan, kami biasa menyebut angkutan kota dengan 'angkot'.

"Naik becak aja saya, Bu."

'Siapa supir becaknya? Mas Dani? Kamu pikir saya nggak tahu?'

"Nggak usah. Becak di sini nakal! Tempo hari ada yang dibawa ke semak-semak sama tukang becak."

"Ngapain, Bu, ke semak-semak?" tanya Tika dengan muka pura-pura polosnya.

"Tangkap belalang!"

Spontan tawanya memecah. "Ish, Ibu! Masa iya tangkap belalang?"

Ya masa, tangkap Tika? Ingin sekali kusahut begitu. Tapi nggak, aku nggak mau terburu nafsu.

Kulambaikan tangan begitu sepeda motor ojek yang membawa Tika jalan. Aku berharap ini lambaian tangan perpisahan.

Third Storm #IWZPAMER2023Where stories live. Discover now