Small Talk

10 1 0
                                    

"Bisa aja orang salah kirim, Yang."

"Gini, ya, Mas." Aku menarik napas sebelum melanjutkan perdebatan. "Sebagai orang normal, Anin sendiri bakal periksa dulu nomor yang akan dikirimi pesan. Nggak tiba-tiba langsung kirim pesan dan nanya, 'Kanda lagi di mana?" titisan selir nyi Blorong kali, ya, dia."

Mas Dani spontan tertawa.

"Anggap aja itu nggak normal." Mas Dani menyeruput kopi buatanku.

"ODGJ, maksudnya?"

Mas Dani berdeham.

"Bisa jadi," sahutnya. "Kita bahas yang lain aja, lah. Mbak Lia ... gimana kabarnya? Tempo hari Mas ketemu Mbak Lia di toko."

Mas Dani mengalihkan obrolan, ini sifat kedua Mas Dani yang paling kubenci.

Kuletakkan gelas berisi teh yang seperempat  isinya baru transmigrasi ke perutku. "Mas Dani kasih nomor Anin ke Mbak Lia, ya?"

"Iya," sahut Mas Dani sambil menyilakan kakinya. "Gimana pun juga, Mbak Lia itu keluarga kita."

"Mas aja kali! Anin nggak!"

"Sayang ...." Suara lembut Mas Dani membuatku hampir tergoda menoleh ke arahnya.

Untungnya Gibran sedang asyik menonton kartun kesayangannya di ruang tengah. Kalau nggak, aku bisa di 'cie-ciein' Gibran habis-habisan karena Mas Dani memanggilku seperti itu.

"Memaafkan orang yang berbuat salah dengan kita, itu akan menentramkan hatinya. Dan memaafkan orang yang nggak merasa berbuat salah dengan kita, itu menentramkan hati kita." Mas Dani menoleh ke arahku. Dari sudut mata aku tahu.

"Tapi pohon yang sudah dipaku berkali-kali, bakal tetap membekas sekali pun pakunya dilepas, Mas," kataku sambil memandangi bintang paling terang di langit sana.

"Anin mau jadi pohon?" tanya Mas Dani.

Spontan aku menoleh dan mendapati lelaki beralis tebal itu melebarkan senyum ke arahku. "Apaan, sih?" Aku paling grogi kalau Mas Dani menatapku seperti ini.

"Terus apa?" desak Mas Dani masih berusaha.

"Nggak mau jadi apa-apa. Mau jadi tauke bronis aja biar banyak uangnya."

Mas Dani lagi-lagi tertawa.

Garing banget dia, tapi aku suka.

Sebenarnya, aku ingin membahas soal Tika. Tapi keburu takut, mood Mas Dani hancur kalau kubahas itu. Lagian, ini entah berapa bulan, aku dan Mas Dani baru bisa ngobrol santai di depan teras seperti ini.

"Sebenarnya ... Mbak Lia bilang-" Aku menggantung obrolan. Sengaja. Supaya tahu Mas Dani masih mendengarkan atau nggak.

"Bilang apa?" tanya Mas Dani bereaksi.

Kuhembuskan napas lega.

"Mau ke rumah kita," kataku. Aku menoleh ke Mas Dani, memastikan lelaki berwajah tirus dan dagu dipenuhi bulu itu, tetap menjadi pendengarku.

Mas Dani balas menoleh ke arahku. "Ya nggak apa-apa. Gibran pun belum pernah ketemu uaknya."

"Tapi, Anin ragu-"

Mas Dani menaikkan sebelah alis dan memiringkan kepala. "Kenapa?"

"Ya ragu aja. Anin takut nggak siap ketemu Mbak Lia. Lagian apa? Anin mau ngomong apa sama Mbak Lia?"

"Nanti Mas temani," tawar Mas Dani yang membuat perasaanku semakin kacau sekali.

"Sebenarnya-"

Mas Dani terlihat antusias menungguku melanjutkan obrolan.

"Mbak Lia mau ke mari bareng Mbak Maya."

Lega. Itu yang kurasa saat berhasil mengutarakannya.

Tatapan Mas Dani berubah seketika. Seperti ada luka yang terpancar jelas di matanya.

Aku tahu, Mas Dani pasti menyimpan banyak kenangan nggak menyenangkan, terutama dari Mbak Maya. Betapa dulu Mbak Maya begitu berani terang-terangan menghina Mas Dani langsung berhadapan. Itu yang kusebut bekas paku. Maka wajar, kan, kalau aku belum bisa memaafkan Mbak Maya karena itu?

"Nggak apa-apa. Suruh datang aja." Jawaban Mas Dani benar-benar mengejutkan.

"Mas yakin?"

Mas Dani menganggukkan kepala.

"Mbak Maya, lho, Mas ...." Aku berusaha mengingatkan.

Mas Dani mengulum senyum. Tangannya mengangkat, lalu memutar kursi rotan, hingga posisinya berhadapan ke arahku. "Yang-" Mas Dani mengulurkan tangan, memegangi kedua tanganku. Mata kami kini beradu.

"Mau seribu orang pun berusaha melukai kita, kalau Allah bilang nggak bisa, ya nggak bisa. Sebaliknya. Mau cuma satu orang pun yang berusaha melukai, kalau Allah kasih dia izin, kita pun nggak berdaya menolaknya."

"Tapi kan ... Mbak Maya, Mas-"

Mas Dani mengeratkan genggaman tangan. "Nggak apa-apa. Ada Allah, Sayang."

Third Storm #IWZPAMER2023Where stories live. Discover now