Arrived at The Destination

15 3 0
                                    

"Maaf, ya. Kukira tukang paket tadinya." Ibu pemilik kos sedikit menundukkan kepalanya, sebagai permohonan maaf kurasa.

Dengan penampilanku yang sedikit semrawut begini, tetap wajar kok kalau ada yang mengatakan aku ojek online. Jangankan berpikir untuk dandan, untuk makan pun sudah tak terpikirkan lagi olehku. Yang penting cuma satu: menangkap basah wanita sundal itu.

Tak ingin berlama-lama dan banyak basa-basi, aku langsung mengutarakan keinginanku.

"Sudah hampir lima bulan kalau nggak salah. Aku lupa, Dek, kapan pastinya," kata Mamak Getha saat kutanya berapa lama Tika menyewa di rumah kosnya.

"Kalau mobil putih itu--" Aku menjeda, sembari menunjuk mobil yang terparkir di sebelah rumah. "Sering, Bu, datang ke sini?" tanyaku.

Mamak Getha tersenyum semringah. "Oh ... si Dani?"

Aku menganggukkan kepala.

"Sering kalilah. Masih di dalam pun dia kurasa. Baik kali Abangnya si Tika itu. Kalau ke sini selalunya aku dibawakan makanan. Entah apa-apa aja kadang aku dibawakannya. Kadang baju, makanan, sampai mainan cucuku pun dibelikannya," terang Mamak Getha panjang lebar.

Pandanganku langsung tertuju pada mobil remot yang berada di dekat pintu. Model mobilnya sama persis dengan punya Gibranku. Aku tersenyum sinis. Rupanya Mas Dani membelikan mobil Gibran sekaligus mobil sogokan untuk cucu ibu kos ini. Tega kamu Mas!

"Eh, tunggu dulu. Adek ini siapa? Kenapa tiba-tiba ke sini tanya Tika? Saudaranyakah? Apa kawannya? Apa apanya?"

Akhirnya, giliranku memperkenalkan diri tiba juga.

Kubuka tas ransel yang sejak tadi duduk manis dipangkuanku. Dua buku berwarna hijau dan coklat kuletakkan di meja. Sebagai bukti penguatnya, aku membuka penyimpanan foto di HP dan menunjukkan gambar pernikahanku dan Mas Dani ke Mamak Getha.

Sambil memegangi dada dan tatapan tak percaya, Mamak Getha bertanya, "Kau istrinya Dani?"

Kuanggukan kepala sebagai jawaban.

"Tunggu, ya. Tunggu di sini jangan ke mana-mana," pinta Mamak Getha setengah berlari masuk ke dalam rumah.

Tadinya aku berpikir kalau Mamak Getha akan memanggil Tika ke kamar kosnya. Rencanaku untuk menangkap basah mereka berdua bisa sia-sia. Tapi beberapa menit kemudian ... suara derap kaki terdengar mendekat. Seorang lelaki tinggi besar berkumis lebat berdiri di sebelah Mamak Getha.

"Adek ini, Bang, istrinya," kata Mamak Getha sambil mengacungkan jari telunjuk ke arahku.

"Benar, Dek?" tanya lelaki itu penuh wibawa.

"Benar, Pak. Ini buktinya." Aku berdiri dan menyodorkan buku nikah ke tangannya.

"Mak Getha, panggil kepling sekarang!" tukas lelaki itu tegas, membuat Mamak Getha segera bergegas.

"Tenang ya, Dek. Biar kita selesaikan masalahnya. Selama ini Ibumu pikirnya orang itu saudara kandung. Padahal sudah Bapak bilang ke dia, mukanya saja mereka beda. Mana mungkin saudara. Tapi tetap, Ibumu itu nggak percaya," terang lelaki itu dengan suara baritonnya. Tangannya sibuk membaca buku nikahku dan Mas Dani bergantian. Entah apa yang dipikirkan lelaki berkepala plontos itu hingga berkali-kali menggelengkan kepalanya.

Aku hanya menunduk dan sesekali mengangguk jika ditanya sebab bingung harus bicara apa.

"Siapa namamu, Dek?" tanya lelaki itu dengan raut muka ramah.

Padahal di buku nikah itu tertulis jelas namaku. Tapi sudahlah, kujawab saja.
"Anin, Pak."

"Anin?" ucapnya meyakinkan.

Aku mengangguk.

"Saya Marganda Sinaga. Tapi orang-orang kita Jawa, banyak yang manggil Naga."

"Pak Naga?"

"Ah iya. Pak Naga. Orang-orang kita Jawa di sini begitulah memanggil namaku. Anin orang Jawa kan?"

"Iya, Pak."

"Kelihatan dari wajahnya. Cantik-cantik orang kita Jawa ini," puji Pak Naga, membuatku tersenyum semringah.

Padahal sebelumnya untuk membuka mulut saja kurasa susah. Ada amarah yang bergejolak di dada, dan ingin dimuntahkan dengan segera.

Third Storm #IWZPAMER2023On viuen les histories. Descobreix ara