Out of Range

18 0 0
                                    

"Bolak-balik aku banguni, Mas."

"Tapi, nggak ngotot!"

Nggak ngotot gimana? Bisa nggak salat Subuh aku kalau menunggu Mas Dani bangun. Mas Dani tuh sekarang susah banget dibanguni salat. Kalau pun bangun, Subuhnya juga di rumah nggak di masjid. Padahal dulu Mas Dani yang paling getol mengingatkan aku bahayanya meninggalkan salat Subuh.

"Mas nggak sarapan dulu?" tanyaku saat melihat Mas Dani sudah memakai sepatu.

"Mas sarapan di toko aja," kata Mas Dani lalu mengecup keningku.

"Tapi aku udah masak, Mas."

"Ini hari Minggu, Sayang. Jam segini toko udah ramai pembeli. Kasihan, kan, kalau mereka harus antri lama untuk beli? Mas kurang percaya sama Vivi. Dia kalau sama pelanggan kurang ramah," terang Mas Dani yang mencium keningku sekali lagi kemudian buru-buru beranjak pergi.

***

Sebelum membereskan rumah, aku mengirim pesan terlebih dulu ke Sofiah. Memastikan kembali kedatangannya ke rumah. Kubilang: Jadi datang ke rumah, kan, Sof siang ini?

Lima menit kutunggu, pesanku belum juga dibaca Sofiah. Kulihat jam di HP. Masih jam delapan pagi. Gibran pun belum bangun jam segini. Apa aku menunda beberes rumah dan ikut tidur bareng Gibran aja? Tidur pagi bukan ide yang baik. Moodku selalu berantakan kalau tidur pagi. Selain itu aku nggak mau kena diabetes, pikun dini, penyakit jantung dan sebagainya karena suka tidur pagi. Nggak. Nggak ikhlas aku mati muda, dan Mas Dani menikah lagi terus hidup bahagia bersama istri barunya. Nggak akan!

Sambil memutar murotal Al-Quran, aku mulai menyuci piring, memasukkan sampah dapur ke plastik dan mengangkatnya ke depan rumah, supaya besok pagi lekas dibawa truk sampah. Mas Dani pernah bilang kalau rumah yang kotor, bikin malaikat rahmat nggak mau masuk. Rezeki seret bisa jadi karena sering ada sampah di dalam rumah. Itu kenapa setiap siang atau sore, sebelum Magrib, aku rutin mengutip sampah di dalam rumah dan segera meletakkannya di gerbang depan rumah.

Teleponku berdering. Ternyata Sofiah.
Belum sempat kuterima, panggilan teleponnya sudah berhenti.

Sofiah bilang: Mau dibawain apa, Nduk?

Kubalas: Apa saja. Donat, bakso, durian, semangka, somay, pecal, bika ambon, semua yang ada di sana angkut aja ke mari.

Sofiah membalas: Lagi hamil kembar lima apa gimana, Nduk? Pesan makanan sebanyak itu. Ntar jadi eek semua, lho!

Aku, kan, cuma ngomong, Sofi COD! Nggak dibeliin juga nggak apa-apa. Kenapa si eek dibawa-bawa, sih? Joroknya nggak sembuh-sembuh.

"Bunda ...."

Aku menoleh ke belakang. Gibran berdiri di pintu kamar sambil mengucek-ngucek matanya.

"Anak ganteng udah bangun, ya? Mandi dulu, yuk!" ajakku, yang langsung dijawab Gibran dengan gelengan kepala. "Dik Fahri mau ke mari. Gibran bilang kangen, kan, sama Dik Fahri? Yuk, lah, mandi dulu! Nanti main sama Dik Fahri."

Gibran kini mematung di depan pintu.

"Ayo, lah!" ajakku lagi sedikit memaksa.

"Mau ke rumah Fahri, Bund," rengek Gibran meminta.

Kuanggukkan kepala sambil berusaha melepaskan pakaiannya.

Bocah berpipi bulat itu terus-terusan mengatakan keinginannya untuk tidur di rumah Fahri bahkan sampai selesai mandi.

"Rumah Fahri jauh, Sayang. Nanti kalau Gibran nangis, siapa yang mau antar malam-malam ke mari?" kataku saat memakaikan singlet dan celana pendeknya.

"Ibu Sofi," sahutnya sambil memerkan deretan giginya yang putih bersih.

"Kasihan Bu Sofi, Sayang."

"Rumah Bu Sofi di mana?"

"Titi Papan," sahutku.

Bocah bermata bulat itu mengangguk-angguk.

"Rumah kita?"

"Setia Budi."

"Gibran mau main di rumah Fahri."

"Iya, boleh. Nanti Gibran main sama Fahri, ya. Tapi, nggak boleh ikut ke rumah Fahri. Nanti Bunda nggak ada temannya di rumah. Bunda sedih, dong, jadinya."

Gibran menggelengkan kepala. "Gibran nggak mau Bunda sedih," ujarnya sambil memegangi tanganku.

Aku tersenyum, lalu menciumi kedua pipi bulatnya. Tawa renyahnya memecah seketika.

Suara klakson mobil dan dering telepon berbunyi bersamaan. Panggilan telepon dari Vivi. Bersamaan dengan itu, suara pintu gerbang dibuka membuat Gibran spontan lari menuju jendela.

"Bunda ... Fahri!" teriaknya bersemangat sekali.

Aku membuka pintu rumah disusul dengan Gibran yang langsung lari menghampiri Fahri. Fahri anak pertama Sofiah yang umurnya sama dengan Gibran. Bocah berwajah tirus mirip ayahnya itu langsung semringah ketika bertemu Gibran.

"Masuk ke dalam, yuk!" ajakku ke Sofiah dan Fahri.

Fahri menyalim tanganku, dan langsung berlari ke dalam rumah karena ditarik-tarik Gibran tangannya. Gibran pasti nggak sabar ingin memamerkan mobil remot baru yang dibelikan Mas Dani kemarin.

"Apa kabar? Jeng-" Sofiah berpura-pura mengingat.

"Kelin! Jengkelin! Iya, kan? Mau bilang aku jengkelin? Serah ah! Mana open awak!" tukasku yang pura-pura marah.

"Ono opo, toh, Nduk? Darah tingginya kambuh ya? Nih, Tante Sofiah bawain penawarnya," kata Sofiah mengangsurkan kantung plastik bawaannya.

Kuterima kantung plastik berwarna putih yang diberikan Sofiah sambil menyahut, "Nggak boleh bilang Tante kalau di dekat rumahmu nggak ada mini market! Sebutan Tante itu untuk orang yang ada mini market di dekat rumahnya."

"Songeh kali lah Eda ini! Beselemak mini market di Titi Papan sana biar kau tahu. Eh! Kenapa jadi bahas mini market coba?"

"Entah! Kaunya itu!"

"Itu mata kenapa gendut kali gitu?"

Aku yang sedang mengeluarkan buah dan kue yang dibawa Sofiah langsung spontan memegang mata.

"Kelihatan ya, gendutnya? Besok kusuruh diet lah dia," sahutku kembali mengeluarkan buah-buahan dan menatanya di piring kaca besar.

"Berantem?" Sofiah mulai mengorek informasi.

"Marahan?"

Aku langsung menukas omongan Sofiah dengan bilang,  "Apa bedanya berantem sama marahan, sih?"

"Beda hurufnya," sahut Sofiah lalu memajukan bibir bawahnya ke depan, memasang gaya mengejek. Itu menyebalkan sekali.

Saat ingin membalas ucapan Sofiah, teleponku berdering lagi. Panggilan yang sama dari Vivi. Kuterima.

"Nggak ada, Vi. Coba tanya Bapak. Oh. Bapak nggak ada di toko? Ke mana? Sampai sekarang belum datang? Oke, Vi. Wa'alaikumussalam."

"Siapa?" tanya Sofiah yang sedari tadi mendengarkanku bicara.

"Mas Dani," sahutku sambil berusaha menghubungi nomor Mas Dani.

"Mas Dani kenapa?"

"Nggak ada di toko," jawabku. "Padahal sudah pergi dari rumah tadi pagi."

"Singgah ke tempat kawannya kali," tebak Sofiah.

"Tapi bilangnya mau cepat-cepat ke toko tadi pagi, SOFI!"

Kesabaranku mulai habis karena nomor telepon Mas Dani nggak bisa dihubungi lagi lagi. Aku takut terjadi apa-apa dengan Mas Dani.

Third Storm #IWZPAMER2023Where stories live. Discover now