Move

15 3 0
                                    

"Piye kabarmu, Nduk?" tanya Ibu mertua begitu aku tiba di rumah Sofiah.

"Baik, Bu." Aku memegang dan mencium tangan ibu dengan takzim.

Tangan kiri ibu mengusap lembut punggungku.

"Kandunganmu sehat kan, Nduk? Sudah berapa bulan sekarang?" Wanita paruh baya yang ubannya hampir memenuhi kepala itu bertanya, sembari memegang dan membelai perutku.

"Empat bulan, Bu."

Ibu memegang tanganku, menuntunku untuk ikut duduk di sampingnya.

"Jaga kesehatanmu, Nduk," kata Ibu. Tangannya menggenggam erat tanganku, seakan mengerti apa yang sedang terjadi. "Umur segini bayi sudah bisa mendengar ...." Kata-kata Ibu terjeda oleh Gibran yang menghambur ke pangkuan Ibu tiba-tiba.

"Nenek ...." Bocah berkulit putih bersih itu memeluk Ibu cukup lama.

Tanpa kata, Ibu balas memeluk Gibran sambil tangan kanannya menepuk-nepuk pundak bocah berambut ikal itu.

Aku ... ingin sekali memeluk Ibu dan mengatakan kalau aku nggak bisa memenuhi permintaannya untuk menjaga kesehatan. Aku juga sudah bersalah karena sering menangis dan ... mungkin, itu didengar oleh bayi dalam kandunganku.

Bu, andai Ibu tahu .... Aku hancur, Bu.

Aku menggeleng pelan.
Ibu sudah tua. Aku nggak mau membebani ibu dengan masalah. Biarlah kusimpan sendiri masalah ini. Sebentar lagi semua ini akan terlewati. Ya. Semua akan terlewati.

"Doakan Anin dan Mas Dani, Bu," pintaku.

Ibu memandang teduh ke arahku. "Ibu pasti mendoakan, Nduk." Tangan ibu membelai lembut kepalaku.

"Ciye ... yang lagi lepas kangen." Suara Sofiah langsung menggema begitu wanita berkerudung navy itu masuk ke rumah.

Ibu dan aku saling tatap kemudian tertawa bersama-sama. Kurasa Sofiah punya cadangan tenaga. Semacam power bank khusus manusia karena ini sudah jam dua siang, dan harusnya tenaga dia habis sebab pulang dari bekerja. Tapi, dia? Masih bisa usil bercanda.

Tunggu dulu. Aku melihat jam di layar HPku. Benar. Ini sudah jam dua siang. Aku bisa terlambat menangkap basah Mas Dani dan Tika di indekosnya.

"Anin izin pergi sekarang, ya, Bu," pintaku.

"Makan dulu, Nduk. Ibu sudah masak sayur asem kesukaan Anin," tutur Ibu.

"Iya, nih, Mbak Anin! Nggak sopan tahu menolak perintah orang tua." Sofiah menimpali.

"Anin sudah makan kok, Bu, di rumah," sahutku pura-pura. Untungnya Gibran sedang main dengan Fahri di teras rumah. Kalau nggak ... Gibran pasti menyela dan mengatakan yang sebenarnya.

Iya. Aku memang belum sarapan dan belum makan siang ini. Entah di mana hilangnya selera makanku. Mungkin terbawa emosi yang membuncah sejak pagi. Argh! Lagi-lagi aku lupa misiku menitipkan Gibran di sini.

Ibu akhirnya mengizinkanku pergi setelah kukatakan sudah memesan nomor antrian di tempat perawatan. Sofiah pun akhirnya bungkam, tak berani bersuara saat ibu mengeluarkan izinnya.

Aku menuju alamat yang diberikan Vika menggunakan sepeda motor bebekku. Agak sedikit canggung rasanya setelah cukup lama tak berkendara. Tapi anehnya, tanganku begitu sigap mengemudi dan sesekali menyalip, mendahului pengendara di tengah ramainya lalu lintas jalan raya.

Sepeda motorku berhenti, tepat di dekat warung sembako yang berjarak dua rumah dari indekos Tika. Aku bermaksud membeli air mineral sekaligus bertanya ke pemilik warung tentang pemilik indekos tempat Tika berada.

"Rumah yang cat kuning itu, Mbak," kata Ibu bertubuh tambun yang mengenakan kerudung lebar berwarna ungu sembari menunjuk rumah yang berada di sebelah indekos. "Biasanya jam segini sudah di rumah kok Mamak Getha itu. Mbak yang mau ngekos di situ?" tanya Ibu itu.

Aku menggaruk lengan. "Bukan saya, Bu," sahutku kemudian mengulum senyum. Ibu yang memiliki tahi lalat di ujung hidung itu terlihat masih penasaran jadi kujawab saja, "Buat adik saya, Bu. Dia bekerja di minimarket Marelan pasar dua. Jadi lebih dekat kalau cari kosan di sini." Setelah kukatakan begitu, barulah ibu tersebut membulatkan bibirnya sembari menganggukan kepala.

Setelah berbasa-basi dan mengucapkan terima kasih, aku segera melajukan sepeda motor ke rumah pemilik indekos.

Aku sempat mendesah pasrah saat pintu rumah yang kuketuk tak kunjung dibuka. Saat menempelkan tangan, hendak mengetuk untuk yang ketiga kalinya, tiba-tiba pintu dibuka. Seorang perempuan yang kutaksir berusia kepala empat menuju lima, keluar dari rumah dengan tatapan penuh tanya.

"Tukang paket, ya?" tanyanya.

Aku hampir tertawa, tapi setelah melihat penampilanku yang mengenakan jaket berwarna merah, dan helm berwarna serupa, aku akhirnya menelan ludah.

Third Storm #IWZPAMER2023Where stories live. Discover now