Cover up Lies

14 0 0
                                    

Mas Dani terlambat bangun Subuh lagi hari ini. Bukannya langsung ke kamar mandi, dia justru asyik tersenyum sendiri sambil matanya menatap lekat ke layar HP. Tangannya bergerak lincah, bergerilya mengetik pesan yang entah apa.

Dari sudut kamar, sambil berpura-pura menyapu, aku memperhatikan Mas Dani yang tiba-tiba tersipu.

"Mas nggak salat Subuh?" kataku.

Mungkin saking asyiknya bermain HP, Mas Dani nggak menyahut ucapanku.

"Mas-"

"Mas Dani!" Setengah berteriak kupanggil namanya.

Mas Dani terlihat kaget sampai HP di tangannya terjatuh. "Ya. Kenapa, Sayang?"

"Salat Subuh," kataku dengan nada sedikit ditekan.

Mas Dani turun dari tempat tidur sambil memasukkan HP ke kantong celananya.

Sambil menunggu Mas Dani selesai salat, aku berniat masak supaya Mas Dani bisa sarapan dan pergi ke toko dengan perut berisi.

Ketika masih gadis, aku bukan tipe orang yang menyukai dapur dan kegiatan di dalamnya. Pekerjaan di dapur adalah pekerjaan berat yang membuatku sering kali beralasan apa pun ke Mbak Lia supaya bisa kabur.

Sampai akhirnya ketika menikah, aku memaksa diriku untuk suka dapur dan kegiatan memasaknya. Semua karena uang belanja yang diberikan Mas Dani tidak mencukupi kalau apa-apa serba beli.

Memang banyak di sekitar kompleks perumahan Insan Cita Griya ini yang menjual lauk masak. Harganya pun nggak dipatokkan bebas berapa saja. Seperti sayur gulai daun ubi, penjualnya bilang aku bisa beli tiga atau lima ribu, terserah. Sesuai kebutuhanku saja berapa.

Membeli lauk memang lebih praktis karena tinggal makan dan nggak perlu repot memasak pastinya.

Sampai akhirnya Gibran kecil kami waktu itu mengalami pertumbuhan benjolan kecil di lehernya. Aku sampai harus berutang kepada Mbak Maya waktu itu untuk memeriksakan Gibran ke dokter karena kami nggak punya kartu BPJS dan semacamnya. Beruntung waktu itu entah kenapa Mbak Maya iba. Mbak Maya bahkan memberikan uang itu secara cuma-cuma. Ini juga yang menjadi salah satu alasanku tetap menganggap Mbak Maya sebagai keluarga. Jujur, Mbak Maya itu sebenarnya orang baik. Cuma terkadang, caranya berbuat baik itu malah jadi nggak baik. Entah lah. Aku merasa Mbak Maya seperti itu.

Dari hasil pemeriksaan Gibran waktu itu, dokter meminta kami untuk memberikan Gibran makan-makanan yang sehat. Makanan instan, atau yang dibeli di luar, cenderung nggak sehat dan dapat membuat benjolan tumbuh kembali di leher Gibran. Begitu dokter memberi pesan.

"Masak apa, Bund?" tanya Mas Dani yang sudah berdiri rapi mengenakan kaus lengan pendek berwarna putih.

"Mas mau olah raga?" tanyaku saat melihat celana hitam pendek berbahan parasut yang dikenakan Mas Dani.

"Iya," sahut Mas Dani dengan tatapan mata nggak bergeser dari layar HPnya.

"Bunda ikut, ya?" pintaku yang langsung membuat Mas Dani menoleh dan melebarkan mata.

"Ngapain?"

"Ya ikut aja!"

"Nggak-nggak! Nanti kalau kandungannya kenapa-kenapa gimana?"

"Kenapa-kenapa apanya? Anin, kan, cuma ikut Mas Dani aja. Nggak bakal lari juga di sana," kataku setengah memaksa.

"Mas bilang nggak, ya nggak!" tukas Mas Dani sampai wajahnya memerah.

"Bilang aja kalau Mas mau olah raganya bareng Tika." Kata-kata ini keluar begitu cepat dari mulutku tanpa aba-aba.

"Tika lagi!" Mas Dani berdecak sambil tangan kanannya memegang kepala. "Mas udah bilang kan? Itu bukan, Mas!"

"Foto gandengan tangan? Itu bukan Mas juga?"

"Gandengan tangan apa?" tanya Mas Dani dengan suara baritonnya. Kilat matanya menatapku begitu tajam dan penuh amarah.

"Nggak usah bohong, Mas! Anin tahu semuanya."

"Terserah! Terserah kalau Anin tetap nggak percaya. Mulai hari ini Mas nggak akan ke mana-mana. Mas akan di rumah aja biar Anin puas dan nggak menuduh Mas macam-macam di luar sana."

"Maksud Anin bukan itu, Mas."

"Terserah!" Mas Dani langsung masuk ke kamar dan membanting pintunya.

Apa-apaan ini? Harusnya aku yang marah. Harusnya aku yang masuk ke kamar dan membanting pintu. Bisa-bisanya Mas Dani pula yang marah!

***

Hampir tiga jam sudah, Mas Dani nggak memberi tanda akan keluar dari rumah. Aku nggak berani masuk ke kamar karena takut Mas Dani berbuat gila. Sejauh ini ... satu-satunya perbuatan gila Mas Dani adalah marah-marah. Tapi itu pun, sudah cukup membuat aku ketakutan dan hampir pingsan. Mungkin karena Mas Dani jarang marah, dan hampir nggak pernah marah. Jadi ketika dia marah, rasanya duniaku benar-benar terasa akan pecah.

"Bunda kenapa?" tanya Gibran yang sedari tadi asyik menata mainan lego kesayangannya.

Aku bahkan nggak sadar kalau Gibran ternyata memperhatikan.

"Nggak apa-apa," kataku sambil berusaha mengulum senyum. "Bunda boleh minta tolong Gibran, nggak?"

"Boleh," sahut Gibran dengan semangatnya. Mata bulatnya kini beralir melihat ke arahku.

"Tolong bilang ke Ayah, supaya makan dulu. Ayah belum makan dari pagi," terangku, dan langsung dijawab Gibran dengan anggukan. "Terima kasih, ya," kataku yang membuat senyum Gibran mengembang sempurna.

Dari ruang keluarga, aku mengintip Gibran yang masuk ke kamar memanggil ayahnya. Gibran terlihat mengetuk pintu. Belum ada jawaban dari balik pintu. Sampai akhirnya Gibran memutar gagang, dan pintu pun terbuka dengan gampang. Aku menunggu. Jawaban apa yang diberikan Mas Dani ke Gibran.

Samar-samar aku mendengar, suara tangis bocah berpipi bulat itu di dalam kamar. Pipinya basah penuh air mata, begitu yang pertama kali kulihat saat dia berjalan mendekat.

"Gibran dimarah Ayah?" tanyaku saat Gibran duduk di pangkuanku.

Gibran mengangguk membenarkan ucapanku.

"Ayah bilang apa?" tanyaku lagi, yang membuat bocah beralis tebal itu menaikkan volume tangisannya.

Air mataku jatuh saat menyaksikan Gibran menangis seperti itu. Dadanya terlihat kembang kempis menahan sesak. Sesakit itu kah perkataan Mas Dani di kamar sana?

Third Storm #IWZPAMER2023Donde viven las historias. Descúbrelo ahora