Resigned

23 3 0
                                    

Aku tertunduk, menikmati sunyinya malam di atas sajadah. Air mata turun, bersama rintik hujan di luar rumah.

Hanya ada aku di rumah. Gibran tidur di rumah Sofiah. Wanita berkerudung lebar itu memintaku untuk menenangkan diri sekaligus bermuhasabah.

Kuseka air mata yang tersisa. Perasaan lega setelah menangis beberapa waktu lamanya, membuatku akhirnya menengadahkan tangan lalu bertahmid, "Segala puji bagimu, ya Allah."

Aku memejamkan mata. Bayangan Mas Dani lagi-lagi hadir di pelupuk mata.

"Aku pasrahkan semuanya kepadaMu, ya Allah. Aku hanya minta, apa pun ujian yang Engkau berikan, mampukan aku untuk melewatinya." Ada sesak yang membuat mata ini terasa sebak.

Untuk pertama kalinya, aku merasa kehadiran Mas Dani di sisi begitu berarti. Sudah lama rasanya, aku nggak melihat Mas Dani tertawa. Argh! Aku sibuk menyalahkan Tika tanpa pernah mengoreksi bahwa bisa jadi akulah penyebabnya. Aku sibuk mengarahkan jari telunjuk ke Mas Dani untuk ini dan itu, tapi lupa empat jari sisanya menghadap ke arahku.

"Mas Dani," panggilku, meski tahu lelaki bermata sipit itu tak mendengar suaraku. Aku memeluk tubuhku sendiri. Membayangkan kalau lelaki beralis tebal itu berdiri di belakang, lalu melingkarkan tangan memelukku.

Ada rasa rindu yang menggebu mengingat lelaki yang sepuluh tahun ini membersamaiku. Ingin rasanya aku meminta, supaya Allah membawa Mas Dani kembali padaku. Tapi, aku malu. Aku merasa nggak pantas meminta itu. Sembari menyeka air mata yang tersisa di ujung mata, aku kembali berdoa, "Apa pun yang terbaik menurutmu, ya Allah, aku terima." Meski setelah mengatakannya, ada rasa harap yang begitu besar di dada. Dalam hati kecil aku mengiba, agar Allah mengubah hati Mas Dani dan meninggalkan Tika untuk selamanya.

Aku bangkit, melipat sajadah dan meletakkannya di meja. Kutarik tirai putih yang menutupi jendela. Kaca jendela basah karena rintik hujan begitu deras di luar sana. Masih jam tiga, begitu yang kulihat pada jam digital di atas meja.

Kutempelkan telapak tangan di kaca, merasakan dinginnya rintik hujan di luar sana. Pohon jambu yang berada di depan jendela, bergoyang ke sana ke mari terbawa angin. Mataku menatap garasi, tempat biasa Mas Dani memarkir mobilnya ketika pulang ke rumah.

"Lagi apa kamu, Mas, di luar sana? Anin rindu," bisikku menatap sendu ke jalanan yang basah dan tanpa kendaraan lalu.

Kata Sofiah, berdoa saat hujan seperti ini akan cepat diijabah. Bolehkah aku meminta? Agar Mas Dani lekas pulang ke rumah. Atau Allah menunjukkan jalan untukku bisa membawa Mas Dani kembali.

Aku jadi teringat rencana awalku. Aku nggak bisa pasrah dan menunggu saja. Harus usaha, begitu kata Sofiah. Tapi, mulai dari mana? Aku bahkan nggak tahu di mana alamat rumah orang tua Tika. Mungkinkah anggota Vika tahu di mana alamatnya?

Angin bergerak kencang, membuat pohon di seberang jalan tumbang. Untuk sesaat aku terdiam dan tercengang. Apa aku bisa seperti angin kencang?

Beruntung pohon yang tumbang nggak mengenai kabel listrik. Aku memutuskan untuk menutup tirai dan merebahkan diri. Waktu Subuh masih lama berlaku.

Susah payah kupejamkan mata, tapi kantuk belum juga singgah di pelupuk mata.

Kuambil ponsel dan membuka aplikasi berwarna biru. Untuk sesaat aku ragu, dan memilih membuka aplikasi berwarna gradasi merah, biru, dan ungu. Kuketik nama "Tika Pratiwi" di kolom pencarian. Satu nama yang muncul dari beberapa nama yang tertera membuat tatapan mataku terpaku.

Dalam foto profil Tika Pratiwi, aku melihat gambar wanita berdiri mengenakan baju berwarna hitam, dengan cadar menutupi wajahnya. Awalnya aku ragu kalau itu Tika. Tapi postingan Instagram terbarunya, membuatku spontan melebarkan mata. Susah payah aku menulan ludah. Tika berdiri mengenakan kebaya putih. Rambutnya ditutup kerudung berwarna putih dengan posisi badan membelakangi kamera. Apa Mas Dani dan Tika menikah?

Third Storm #IWZPAMER2023Where stories live. Discover now