Give Up

18 3 0
                                    

Aku berusaha mencerna meski isi kepala sudah memberikan jawabannya. Suara itu ... sebulan yang lalu aku mendengarnya di rumahku.

Berulang kali kuseka air mata. Aku nggak bisa menyerah kalah begitu saja. Tanganku bergerak cepat mengetik sandi untuk membuka layar HP Mas Dani yang terkunci. Nggak bisa. Aku mengesah pasrah. Aku mencoba memasukkan tanggal lahir Mas Dani untuk membuka kunci, tapi tetap nggak bisa lagi. Aku kurang yakin ini berhasil. Namun apa salahnya mencoba, kan? Kuketik tanggal pernikahan kami, dan ... kunci terbuka. Aku bernapas lega.

Sambil memegang HP Mas Dani, aku membuka tutorial Youtube menyadap nomor Whatsapp di HPku yang kutonton kemarin malam. Entah ini berhasil atau sebaliknya, aku benar-benar pasrah.

Aku mengetik alamat di Google Chrome yang ada di HPku sesuai intruksi video Youtube, kemudian mengubah pengaturan tampilan menjadi layar dekstop, dan muncul gambar barcode yang harus discan ke HP Mas Dani. Aku melakukan penyadapan ini dengan tangan gemetaran, dan kaki kedinginan. Aku cemas karena Mas Dani bisa kapan saja kembali dan mengambil HPnya.

Dalam video itu, aku diminta mengeklik titik tiga pada aplikasi Whatsapp milik Mas Dani dan muncul beberapa pilihan salah satunya: perangkat tertaut, aku mengeklik itu sesuai instruksi. Selanjutnya aku mengarahkan scan yang ada di HP Mas Dani ke barcode yang ada di HPku. Perlu waktu sekitar enam puluh detik, mungkin, aku nggak menghitung berapa pastinya hingga akhirnya ... di layar HPku berubah menjadi tampilan pesan seperti yang ada di HP Mas Dani. Aku tersenyum puas.

Suara deru mesin mobil mendekat ke pagar rumah. Bersamaan dengan itu, aku sudah menyelesaikan misiku dan meletakkan kembali HP Mas Dani di sofa. Aku berniat ingin membukakan pintu, sebelum akhirnya niat itu kukubur dalam-dalam ketika Mas Dani masuk dengan membanting pintu. Aku jadi bertanya-tanya ada berapa setan sebenarnya yang menggoda Mas Dani? Dari tadi kok setannya nggak capek dan berhenti?

Mas Dani berjalan lurus ke sofa tanpa memedulikan aku yang berdiri di sebelah pintu. Tanpa kata apa pun, Mas Dani melewatiku sambil memegang benda kesayangannya. Aku nggak akan bertindak bodoh dengan menanyai lebih dulu. Sakit hati terkena bentakan Mas Dani tadi, belum benar-benar bisa terobati.

Mataku lagi-lagi basah saat menyaksikan lelaki bertubuh tinggi dan berkulit putih itu pergi mengemudi dengan kecepatan tinggi. Suara deru mesin mobil di ujung gang, membuat suara gaduh di hatiku mendadak lengang. Perlahan-lahan tubuhku melorot dari pintu yang kusandari, hingga bokongku akhirnya berhasil menyentuh lantai. Sesak di dada kian meledak, membuat air mataku kian tumpah.

"Kenapa, aku? Kenapa harus aku yang diuji seperti ini? Kenapa bukan yang lain, ya Allah?!"

Aku menangis sejadi-jadinya setelah mengatakan itu.

"Allah kok tega?" tanyaku sembari menyeka air mata. "Apa Allah benci sama aku? ALLAH BENCI SAMA AKU?" teriakku sambil memukuli kepala.

Kupeluk tubuhku sendiri, tak peduli kalau pipi dipenuhi ingus dan air mata yang silih berganti.

"Harusnya bukan aku!" Aku menggeleng tak terima. "Allah nggak adil sama aku," kataku membersit ingus dan menguatkan dekapan. Kutatap langit-langit ruang tengah, mencoba meredakan isak yang kian sesak. Tapi tetap, aku kembali menunduk, menangisi takdir yang kian suntuk.

Belum cukup kah Allah mengujiku dengan kepergian ibu dan bapak? Dengan zalimnya mbakku Maya? Terus sekarang ... penghianatan orang yang kucinta? Allah kenapa jahat sekali sama aku? Kenapa? Kuremas kerudung yang menutupi kepala sampai terasa sakit luar biasa.

Aku nggak kuat! Aku mau mati saja.

Third Storm #IWZPAMER2023Where stories live. Discover now