Second Fact

18 1 0
                                    

"Kenapa, Nin? Aku salah apa?" tanya Sofiah.

Kugelengkan kepala sebagai jawaban.

"Terus kenapa? Aku bingung kalau kau nangis tiba-tiba kayak gini. Hujan aja kasih tanda kalau mau turun." Sofiah berusaha melucu.

Sayangnya itu nggak berhasil mereda rasa sakit di dalam dadaku.

Sofiah akhirnya menyerah dan memberikan bahunya. Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan Sofiah.

"Jangan buang ingus di bajuku!" serunya dan justru membuat keluar ingusku. "MAMAK!" Sofiah berteriak saat melihat kemeja lengan panjang hitam yang dia kenakan, terlihat basah karena percampuran air mata dan ingusku.

Aku tertawa melihat tingkah absurdnya. Sofiah berlari mengambil tisu wajah di atas meja.

Tangisku perlahan mereda saat Sofiah berkali-kali mengatakan, menangis seperti ini nggak bisa menyelesaikan masalah.

"Mas Dani-"

"Mas Dani kenapa?" tanya Sofiah.

Kuberikan HP-ku ke Sofiah. Cewek yang memiliki tahi lalat di atas bibir itu menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa?" tanyanya menatapku. "Fotonya kelihatan romantis," kata Sofiah melanjutkan.

Aku kembali terisak mendengar penuturan Sofiah.

"Kenapa, Nin? Fotonya kenapa? Tadi kau suruh aku lihat fotonya, kan? Kubilang fotonya romantis kau mau nangis lagi. Nggak ngerti aku." Sofiah kembali ke pengaturan pabriknya.

Kuseka air mata, dan perlahan tarik buang napas untuk meredakan amarah.

"Ini foto Mas Dani, Sof!" Kuperbesar foto yang menampilkan bayangan dua tangan yang sedang berpegangan. "Ini Mas Dani." Tangisku tak terbendung lagi.

Sofiah menarik HP-ku. Tangannya sibuk memperbesar dan memperkecil gambar di status Whatsapp yang dibagikan Tika pagi ini.

"Tika ini siapa?"

"Orang kerjaku di toko."

"Anin tahu dari mana ini Mas Dani?" tanya Sofiah yang sepertinya masih nggak percaya.

Kubuka penyimpanan foto di HP, lalu kutunjukkan status Whatsapp Tika semalam yang sudah kusimpan.

"Bekas luka ini, sama dengan punya Mas Dani. Bentuk bulu tangannya juga sama, Fi!"

"Ini foto kapan?" tanya Sofiah.

"Semalam."

Sofiah memejamkan mata dan menarik napas panjang. "Mas Dani bilang apa?" Sofiah bertanya.

"Banyak. Intinya Mas Dani nggak ngaku." Aku membersit ingus menggunakan tisu.

Sofiah terdiam. Berkali-kali aku melihatnya memejamkan mata lama. Aku biasa melakukan itu ketika sedang menahan amarah.

"Aku harus gimana, Fi?"

Sofiah mengusap-usap punggungku. "Tenang, ya. Tenang dulu. Jangan nangis terus. Nanti matamu gendut lagi, tuh!" katanya masih berusaha melucu.

***

Dari pesan balasan yang dikirim Vivi, Mas Dani dan Tika datang bersamaan ke toko pada pukul dua siang. Sofiah memintaku menahan diri walau rasanya ini menyakitkan sekali.

"Belum ada bukti yang jelas, Nin!" Begitu kata Sofiah saat kukatakan ingin melabrak Tika.

Kalau bukan karena nasihat Sofiah, mungkin malam ini aku sudah menangis sejadi-jadinya.

Sofiah dan Fahri sudah pulang sejak sore tadi. Sekarang sudah jam sebelas malam, dan Mas Dani belum juga pulang.

Aku sudah hampir tertidur saat mendengar suara mobil berhenti di garasi teras rumah. Sebelumnya aku sudah mengirimkan pesan ke Mas Dani, kalau kunci rumah keletakkan di dekat jendela. Aku beralasan sedang nggak enak badan jadi nggak bisa menunggu Mas Dani pulang dan membukakan pintu.

Suara derap kaki Mas Dani mulai terdengar jelas sekali. Aku memeluk guling dan mengatur posisi seperti benar-benar tidur.

Tanganku mendadak dingin saat mendengar Mas Dani membuka pintu. Suhu AC di kamar padahal normal seperti biasanya. Tapi entah kenapa, telapak tanganku mendadak dingin sekali. Aku bisa merasakan itu karena kedua tanganku memeluk guling dan bertemu.

Aku berusaha mengintip. Mas Dani kelihatannya percaya dengan sandiwara pura-pura tidurku. Buktinya dia sekarang sedang duduk menyandar di tempat tidur dan nggak memeriksa mataku.

Tangan Mas Dani lincah bergerilya di atas layar HPnya. Sesekali senyumnya mengembang hingga menampakkan deretan gigi depannya. Sudah lama aku nggak melihat Mas Dani sebahagia itu.

Nyeri bercampur perih, rasanya silih berganti, menghunjam ke ulu hati ini.

Cara Mas Dani tersenyum sambil sesekali menggigiti bibir bawahnya yang tipis, benar-benar membuat pertahananku ingin runtuh. Ingin sekali rasanya aku bangun dan merebut HP Mas Dani untuk mencari tahu siapa yang sudah mengusik kedamaian di rumah tangga kami. Tapi nggak, itu nggak boleh. Sofiah bilang aku nggak boleh gegabah. Cara seperti itu bisa membuatku mudah mengetahui siapa orangnya, tapi nggak menjamin aku dan Mas Dani bakal baik-baik saja. Aku nggak siap untuk kemungkinan terburuknya. Sofiah bilang, kemungkinan terburuk kalau aku nekat gegabah, Mas Dani bisa lebih memilih selingkuhannya.

Aku berharap ini cuma mimpi. Aku berharap ini nggak pernah terjadi.

Mataku terasa hangat dan ... tiba-tiba basah. Aku masih nggak percaya.

Rasanya baru kemarin. Bukan. Bukan kemarin. Tapi sudah lama, aku lupa kapan bulannya. Mas Dani mengatakan cinta dan nggak ingin berpisah dariku. Ya. Sudah lama. Sangat lama.

Aku berharap besok pagi bangun dan ternyata ini cuma mimpi.

Pandanganku melemah. Mas Dani pun sudah tertidur di bantalnya. Dengkuran halusnya membuatku sadar, bahwa ini bukan cuma mimpi.

Third Storm #IWZPAMER2023Where stories live. Discover now