Problem

11 2 0
                                    

Aku yakin dan percaya bahwa apa pun yang kulakukan, nggak akan berakhir sia-sia. Tips agar suami setia, agar suami nggak selingkuh, agar suami merasa disayangi, dan agar-agar lainnya kulakukan semua. Aku menekan semua perasaan sedih dan takut. Yang ada cuma Anin yang kuat, Anin yang menerima suaminya, aku berusaha tampil begitu.

Tapi sungguh, balasan dari Mas Dani nggak sepadan dengan perjuanganku.

Mas Dani pulang ke rumah setelah pergi dua hari. Tanpa senyum, tanpa bertanya kabarku di rumah bagaimana, Mas Dani marah membabi buta. Cuma karena tersandung mainan lego Gibran di ruang tamu.

Sesak masih menyeruak ke dalam dada. Kalau bukan karena Gibran menyaksikan Mas Dani marah, aku pasti sudah meladeninya.

"Istri nggak becus! Entah apa yang dikerjakan di rumah." Mas Dani mengumpat begitu tanpa memikirkan perasaanku.

Gibran menangis ketakutan memelukku. Melihat itu Mas Dani bukannya iba malah berkata yang menyakitkan kepala. "Ibu dan anak sama saja. Nggak berguna!" tukasnya tanpa merasa bersalah.

Aku dan Gibran salah apa sampai harus menjadi tumbal amarahnya?

"Mas itu kenapa?" tanyaku karena geram dengan amarahnya yang tiba-tiba.

Mas Dani enggan menyahut dan tetap santai memainkan HPnya sembari menyandar di sofa ruang tengah.

Sebelumnya aku sudah meminta Gibran masuk ke kamar dan menutup pintunya. Aku takut kalau Gibran trauma menyaksikan kemarahan ayahnya.

"Anin salah apa, Mas?" tanyaku disusul tangis yang tiba-tiba tumpah. Seingatku, aku sudah membersihkan rumah tiga kali lipat lebih sering dari biasanya karena ingin membuat Mas Dani betah. Aku juga berdandan secantik Youtuber yang video tutorial mekapnya kutonton berkali-kali itu. Aku mencari jawaban di kepala, tapi tak satu pun yang bisa menjelaskan penyebab Mas Dani sedingin ini.

"Mas!" Aku memegangi lengannya yang kekar, menuntut jawaban.

"Ah, udah lah!" Mas Dani mengibaskan pegangan tanganku. Rahangnya mengeras, dan melirikku dengan tatapan culas.

"Mas itu kenapa? Kenapa marah? Cuma karena kesandung lego saja masa sampai segini marahnya. Anin salah apa, Mas, sebenarnya?"

"Diam lah!" Mas Dani memejamkan matanya. "Aku capek," katanya sambil memijit kepala.

"Capek kenapa marah-marah, Mas?" Aku menyeka air mata.

"Kau bisa diam nggak?!"

Kata-kata Mas Dani bagai pisau baru diasah, tajam menyayat sampai ke tulang-tulang rasanya. Selama menikah, nggak pernah sekali pun aku dipanggil 'kau' dan baru hari ini Mas Dani melakukannya. Memang aku siapa? Aku istrinya, kan? Hilang kah semua perasaan sayang itu sampai Mas Dani memanggilku dengan sebutan 'kau'?

"Ini pasti karena Tika," tebakku. Air mataku jatuh saat mengatakan itu.

Mas Dani berdecak.

"Iya, kan, Mas?" tanyaku sembari menghapus linangan air mata.

"Tika lagi!" Mas Dani menyugar rambut lalu menggeram sambil mencengkeram tangan sofa. Matanya memejam dengan jakun bergerak naik turun. "Di rumah pun sama aja!" Mas Dani beringsut dari sofa pergi ke luar rumah.

Ingin rasanya aku mencegah, tapi hati sudah terlanjur hancur dibuatnya. Aku mengintip dari jendela. Mas Dani membuka pagar rumah dengan begitu kasarnya. Deru suara mesin mobil membelah jalan perumahan, melesat begitu cepat. Entah setan apa yang merasuki pikiran Mas Dani. Andai aku tahu siapa nama setannya, aku pasti akan mengumpatnya habis-habisan karena sudah menggoda begitu gilanya.

Dering suara telepon terdengar di ruangan tengah. Itu suara HP milik Mas Dani. Saking terburu-burunya dia sampai meninggalkan benda kesayangannya. Aku berjalan ke sofa, lalu mengambil benda pipih yang tergeletak begitu saja. Panggilan telepon atas nama Eko USU tertera di layar HP. Aku mengangkatnya. Sebelum akhirnya tertegun cukup lama saat suara lembut dan merdu mengucap salam di seberang sana. Mas Eko ... kamu?

Third Storm #IWZPAMER2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang