New

10 0 0
                                    

{Anin mau dibawain apa?} Pesan Mas Dani melalui Whatsapp.

{Rujak boleh?} Kubalas begitu meski tahu di jam sore mendekati Magrib begini banyak tukang rujak yang sudah nggak berjualan lagi.

{Mas cari dulu, ya}
Aku tersenyum membaca pesan balasannya.

Pengertian.
Ini salah satu alasan kenapa aku mau dijodohkan Sofiah dengan Mas Dani. Entah karena usiaku yang masih muda waktu itu, jadi begitu polos menerima lamaran Mas Dani yang belum punya penghasilan mencukupi. Tapi nggak, buktinya setelah menikah pun aku nggak pernah menyesal memilih menikah dengan Mas Dani.

Di masa sulit kami, Mas Dani sering berada di sampingku. Membantuku mengurai sesak yang kadang-kadang menerpa karena omongan tetangga.

"Itu lah sok-sokan kawin muda!" Begitu komentar tetangga yang sering kudengar, padahal aku tak pernah meminta.

Sampai akhirnya aku baru mengerti, dari mana sumber masalah bermula.

Mbak Maya, dia selalu bercerita ke tetangga setiap kali belanja di warung milik Bu Rodiah.

Benar memang, orang terdekat bisa menjadi yang paling menyayangi atau malah jadi pembenci.

Setiap hari ada saja fitnahan atau gibahan yang dengan sengaja tetangga bicarakan langsung di depan.

"Kasihan kamu, Nin. Gaji suamimu pas-pasan. Pantas saja badanmu sampai kurusan."

Aku tersenyum kecut saat tetangga sebelah rumah mengomentari berat badanku.

Lima tahun tinggal di dekat Mbak Maya, dan kenyang dengan gosipan tetangga yang berganti menu gibahan setiap harinya, aku mendesak Mas Dani untuk pergi mengontrak dekat dengan tempat kerjanya.

Tinggal jauh di tempat baru, aku justru mendapatkan ketenangan yang selama ini kutunggu. Tetangga baru yang sebelumnya nggak tahu menahu tentang seluk beluk kehidupanku, justru bisa menerima kehadiranku. Mbak Nining dan Mbak Nita tetangga kanan dan kiri rumah, malah awet lima tahun ini bertetangga dan sudah serasa seperti saudara.

Dari Mbak Nining yang punya usaha keripik rumahan, aku belajar memasarkan bronis buatanku. Mbak Nining juga yang bantu mempromosikan bronisku ke langganan keripiknya. Mbak Nita mengajariku cara berjualan di marketplace sampai akhirnya lima tahun ini usaha bronisku bisa sukses seperti hari ini.

Bicara soal Mbak Nita, tadi pagi aku bertemu saat sedang menaruh sampah di gerbang rumah. Wanita bertubuh tinggi, langsing, berkulit sawo matang itu bilang kalau dia melihat Mas Dani beberapa hari lalu berada di tanah lapang kota Medan saat dia dan suaminya sedang jalan-jalan.

"Nggak mungkin, Mbak. Mbak pasti salah orang. Mas Dani jam segitu lagi nge-gym bareng teman-teman komunitas sehatnya." Aku lupa nama komunitasnya apa, tapi sudah seminggu ini Mas Dani pergi setiap siang untuk olah raga bersama teman-temannya.

"Dani pakai kaus hitam, kan?" Sambil menaikkan kedua alis Mbak Nita bertanya, meminta penjelasan.

Mbak Nita itu, kok, ya cari gara-gara. Gunting kuku yang barusan kupegang saja aku lupa menaruhnya di mana. Kok, ya, pakai tanya baju Mas Dani beberapa hari lalu warnanya apa? Jelas lah aku lupa.

Yang paling menyebalkan bukan masalah pertanyaan warna baju sebenarnya. Mbak Nita itu bilang, Mas Dani yang dia lihat, lagi gandengan tangan mesra sama cewek.

"Tapi badannya kecil, Nin. Jadi Mbak nebak itu bukan kau." Begitu Mbak Nita menambahkan keterangan.

Tuh, kan, sudah jelas. Badan cewek yang digandeng saja kecil, berarti bukan aku karena postur badanku tinggi beda delapan centi dari Mas Dani.

Kutegaskan ke Mbak Nita kalau yang dilihatnya bukan Mas Dani. Bisa saja, kan, itu jin qorinnya Mas Dani lagi gandengan tangan sama mbak kunti.

Ah, Mbak Nita! Bikin aku kepikiran saja.

Third Storm #IWZPAMER2023Where stories live. Discover now