After The Incident

6 0 0
                                    

Untuk beberapa saat aku berusaha mengingat. Sampai akhirnya, pandanganku terpaku pada bingkai foto di atas nakas sebelah lemari baju. Dalam foto itu, Mas Dani dan aku tersenyum sambil saling menyandarkan bahu. Cat dinding berwarna hijau pastel dengan tirai vitrase berwarna putih di jendela, mengingatkanku bahwa ini sudah berada di rumah.

Aku berusaha duduk, tapi kepalaku mendadak sakit dan membuat pandanganku buram, menghitam.

Daun pintu terayun, dan menampilkan seorang lelaki tinggi mengenakan kaus lengan pendek hitam dan celana pendek selutut berwarna putih.

Dia berusaha tersenyum. Terlihat dari caranya menarik bibir nggak senatural biasanya. Aku membuang muka, bosan dengan tingkah menjijikkannya

Ingin rasanya aku berteriak, meminta lelaki berdada bidang itu menghentikan langkahnya. Tapi tenagaku, rasanya terkuras habis tak bersisa.

"Gibran di mana?" tanyaku yang baru ingat kalau anak berpipi bulat itu sebelumnya berada di toko bersamaku. "Di mana Gibran?" Aku mengulang pertanyaan.

Lelaki di hadapanku masih terdiam.

Aku menoleh, ingin bertanya lebih keras karena kupikir dia punya gangguan di telinga.

"Kenapa Anin nggak kabari Mas dulu? Kalau terjadi apa-apa sama kandungan Anin gimana? Mas panggil Bu Nora bidan tadi. Katanya Anin itu nggak-"

Aku menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.

"Mas ngomong gini juga ke Tika?"

Mas Dani menggeleng, lalu meraup wajah dengan tangannya. "Tika lagi!"

"Tika lagi!" Aku meniru ucapan Mas Dani. "Nyatanya Tika lagi, Tika lagi, kan, Mas? Mas pikir aku nggak capek terus-terusan kayak gini? Mas sampai minta buatin bronis sama Tika, itu maksudnya apa? Antar Tika pulang, itu juga maksudnya apa? Gila, ya! Kalian berdua sama gilanya!"

Mas Dani berdecak. "Mas nggak mau bahas ini."

"Kenapa? Mas takut, kan? Mas takut karena Mas salah. Iya, kan? Benar kan berarti foto jari dan gandengan tangan itu?"

"Anin-"

"Mas kok jahat, sih, sama Anin? Mas tega! Anin kurang apa selama ini, Mas? Mas kan tahu, Anin nggak punya siapa-siapa selain Mas Dani." Tangisku pecah, setelah sejak tadi berulang kali meronta.

"Mas bisa jelasin semuanya, An-"

"Jelasin apa? Kalau Mas dan Tika selingkuh?" Aku menutup mulut setelah mengatakan itu. Selingkuh? Itu bukan jawaban yang kumau.

"Mas nggak selingkuh, An-"

"Terus apa?" Kutarik lengan Mas Dani sampai lelaki beralis tebal itu terperangah.

"Mas cuma anggap dia adik. Nggak lebih-"

Aku mendengkus. "ADIK?"

Mas Dani mengangguk.

"Pakai sayang juga nggak?" tanyaku, yang membuat Mas Dani terlihat kelabakan.

"Jangan bicara sembarangan," sahut Mas Dani dengan nada sedikit ditekan.

"Mas, udah lah. Anin bukan anak TK yang bisa Mas suap pakai jajan dengan mudah. Anin capek, Mas, main petak umpet terus-terusan. Mas tinggal ngomong jujur, apa susahnya?"

Mas Dani bangkit.

"Jujur aja, Mas. Ada hubungan apa Mas sama Tika?"

"Mas cuma anggap dia adik, An-" Mas Dani berdiri tak memalingkan muka.

"Adik apa sampai Mas Dani malam-malam rela ngantar dia pulang?"

"Dia sakit, An. Dia juga kerja tempat kita. Apa salahnya kalau Mas antar dia pulang sebagai bentuk peduli kita ke orang kerja? Kalau dia kenapa-kenapa, kita juga kan yang bertanggung jawab?"

Aku memijat kening yang tiba-tiba terasa pusing.

"Waktu Vivi sakit beberapa waktu lalu, kenapa Mas nggak antar dia pulang?"

"Mas nggak antar dia pulang," kata Mas Dani, yang tiba-tiba memutar badan lalu berjongkok di sebelahku. "Tapi, Mas pesankan ojek kan, buat dia?"

"Kenapa nggak Mas aja yang antar?"

Mas Dani terdiam sebentar. "Kalau Mas pergi antar Vivi pulang, yang menjaga meja kasir dan melayani pembeli siapa?" terangnya yang membuatku terdiam seribu bahasa.

"Kita sudah menikah sepuluh tahun, An. Harusnya nggak perlu ribut cuma karena masalah begini. Mas sampai malu lihat Anin dilihat orang banyak di toko tadi. Mbak Maya dan Mbak Lia juga ada di sana. Apa coba pikiran mereka melihat Anin pingsan dan Mas nggak ada? Mereka pasti mikirnya yang nggak-nggak tentang Mas, An-"

"Mbak Maya datang?" Aku mengalihkan pembahasan.

"Iya."

"Terus ke mana Mbak Mayanya?"

"Sudah pulang. Mbak Maya kirim salam untuk Anin. Tadinya Mbak Maya dan Mbak Lia mau ikut ke rumah, cuma Mas bilang nggak usah. Anin kayaknya kecapekan dan butuh istirahat saja. Mereka nurut dan pesan ke Mas untuk kasih kabari kalau Anin sudah baikan."

"Oh."

Mas Dani memegang daguku. "Anin percaya, kan?"

Kutepis tangan Mas Dani. "Besok, Mas  suruh Tika ke rumah. Sebagai Kakak, Anin pengin ngomong empat mata sama dia."

Mas Dani berusaha menangkup pipiku.

"Apaan, sih!" tukasku, yang merasa risih diperlakukan seperti itu. "Bilang sama Tika!"

Mas Dani mengangguk, lalu disusul suara tawanya yang renyah, membuatku ingin muntah.

Third Storm #IWZPAMER2023Where stories live. Discover now