Part 5. Kesunyian

3 0 0
                                    

Dini hari, saat dinginya angin memeluk tubuh dalam cahaya yang masih temaram, ibuku terbangun. Dia masih mengantuk, tetapi adik bayi merengek minta ASI. Sedangkan Ayah sudah berangkat ke Pasar untuk berdagang sayuran. Ibuku sedang demam.

Aku merasa kasihan melihatnya dengan wajah pucat pasi. Kemudian, diam-diam aku mengintip dibalik selimut. Ya, dia menangis seorang diri di pojok kamar sambil memberikan ASI untuk adik.

Sayangnya, aku tak bisa berbuat apa-apa saat itu. Padahal, sebenarnya jiwaku terasa sakit, saat ibu merasakan sakit. Semenjak adik bayi lahir, dia sering begadang. Meski begitu, Ibu tetap mengurus adikku.

Namun, rupa-rupanya dari semua peristiwa yang terjadi, saat itu kondisi mental Ibu sedang tidak baik-baik saja. Setiap hari dia lebih banyak melamun dan tatapannya kosong. Seolah-olah jiwanya tak ada di sini.

Tentu saja hal ini membuat seisi rumah limbung. Bagaimana tidak, ibu mulai cuek, tidak perhatian dan sibuk dengan dunianya sendiri. Dia tidak lagi peduli dengan kami. Apalagi dengan adik.

Hari-hari berlalu, ayah tidak tinggal diam. Dia ikut sedih dan mulai memberikan sufor untuk adik. Jika dihitung, hanya lima bulan ibu menyusui adik. Sejak ibu terindikasi kena gejala mental, adikku terapksa mulai minum susu formula karena keadaan mental ibu yang semakin parah.

Dia kadang tertawa, menangis dan menceracau. Kadang kondisi ibu sadar dan kadang ibu kambuh lagi. Aku tak mampu membendung tangis, saat dia bersikap aneh. Aku tak mengerti, apa yang terjadi? Aku merasa takut akan terjadi sesuatu pada ibu.

Sejujurnya saat itu aku mulai cengeng karena sering dibentak dan diperlakukan kasar oleh Ibu. Aku sedih karena kehilangan sosok ibu yang dulu menyayangiku. Saat kutanya pada Ayah, Ibu kena stres.

Ibuku sering mengamuk. Suatu pagi, Ibuku murka. Semua barang-barang hancur dilempar. Aku melindungi diri dengan mengumpat di balik pintu kamar begitu juga Bang Izy. Saat ayah masuk ke dalam rumah, Ibu berteriak.

"Mana janjimu, Bang? Katanya mau melunasi hutang di Warung? Kenapa sampai detik ini belum juga? Bagaimana kita bisa bertahan hidup?"

"Jangan marah-marah begini, sabar aja, dulu. Nanti juga ketemu rejekinya."

"Apa, sabar? Emang selama ini kamu pikir, aku nggak sabar? Kalau tidak ngutang, mau gimana lagi? Emangnya anak-anakmu mau dikasih makan daun?" Nada suara ibu semakin tinggi.

"Istighfar, kamu istirahat aja, ya. Jangan banyak pikiran."

"Jangan cari alasan. Kalau begitu, sekarang kamu ambil kembali kalung emasku yang diambil sama ibumu."
"Kalung yang mana? Itu, kan buat jaminan pinjaman untuk biaya Izy sunat."

"Alah, kamu aja nggak punya modal. Alasan aja buat Izy. Waktu itu, aku aku juga yang pusing."

"Bicara jangan kencang begitu, Bu. Malu sama tetangga." Ayah menepuk punggung Ibu pelan. Namun, ibu malah tambah murka.

"Sudahlah, mending kamu pergi saja sekarang! Cari lauk buat makan nanti malam. Belikan juga adik susu. Pokoknya jangan pulang sebelum dapat. Jangan biarkan anak-anak kita kelaparan."

Brakk.
Ibu menutup pintu penuh emosi. Bulir-bulir air mata jatuh di pipi ibu. Rambutnya acak-acakan dan dia tak berdaya ke atas bale kayu. Kedua mata ibu tertutup. Air matanya kering dan hatinya beku.

Bersambung.

Metamorfosa CintaWhere stories live. Discover now