Part 13

1 0 0
                                    


Satu bulan telah berlalu, aku menagih janji pada ayah untuk minta diantar menjenguk ibu dan adik. Rasa rindu menggelora. Siang dan malamku hanya memikirkan kondisi ibu dan adik. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Hari-hari yang kujalani tanpa semangat.

“Pekan ini kita jadi jenguk ibu dan adik, Yah?” tanyaku.

“Gampang itu, Zen. Nanti saja, ngapain emang?”

“Aku kangen sama mereka. Ayah juga, kan?” tanyaku lagi. Ayah hanya terpaku.

“Janji itu hutang, Yah. Kalau ayah nggak mau nanti aku nangis," desakku.

Ayah menghela napas panjang. Wajahnya mulai kelihatan gelisah, seolah mencari alasan untuk menolak keinginanku.

“Tapi nanti aja ya, Nak. Pas abis lebaran. Ayah nggak punya uang, jadi nabung dulu. Besok kita kan mulai puasa Ramadhan.”

“Ayah ingkar janji, aku sebel.” Jawabku sambil cemberut.

Saat itu aku meluapkan emosi dengan menangis sejadi-jadinya. Kamu tahu kenapa? Karena aku takut tak kan pernah lagi bertemu dengan orang yang telah melahirkanku ke dunia ini. Aku sayang pada ibu.

Aku ingin menjadi cahaya bagi jiwanya yang redup. Setelah dua jam ayah membujukku, tetap tak berhasil. Bola air raksasa di pelupuk mataku tak henti mengalir. Meski sudah sesenggukkan, aku tak bisa menghentikan emosi.

Air mata ini mengalir bagai air sungai yang deras dan tak juga reda.

“Udahlah, Zen nggak usah nangis lagi. Ayo kita ikut ayah petik rambutan. Nanti pulangnya abang gendong.”

Bujuk Bang Izy sambil menghapus butiran bening di bola mataku.

“Tapi sekarang perutku sudah keroncongan, Bang.”

“Ya udah, kita beli kerupuk di warung buat makan. Ayah sudah masak nasi.” Bujuk abang lagi.

Aku menurut ucapannya lalu turun dari kasur dan memakai sandal. Mataku yang merah dan sembab, ternyata menjadi pusat perhatian tetangga. Ya, mereka kasihan denganku.

Gadis kecil yang tidak terurus, kumel dan cengeng.

“Beli apa, Zen?” tanya ibu penjaga warung.

“Kerupuk dua, Bu.” Jawabku pelan.
“Apalagi?”

“Udah Bu itu aja. Ini uangnya.” Ucapku sambil menyerahkan uang.
“Emangya Uwak sama Bibi kamu nggak ke sini dan kasih makan?”

Aku dan Bang Izi menggeleng.
“Kasihan banget sih kalian, ini mie instan buat makan. Gratis, kok.”

“Terima kasih, Bu.” Jawabku dengan senyum mengembang.

Aku dan Bang Izy saling pandang. Kami berdua sangat senang, dalam situasi seperti saat ini ternyata masih ada orang yang peduli dengan kami. Meski hanya dengan mie dan kerupuk, semua ini sudah nikmat karena biasanya ayah hanya kasih garam dan bawang goreng.

Bersambung.

Metamorfosa CintaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ