Part 20

0 0 0
                                    

“Jangan sedih gitu, Zen. Sini minum dulu kamu haus, ya.”

Aku menggeleng. Padahal, ingin kutumpahkan rasa emosi pada Ayah, tetapi tak mungkin kuluapkan dihadapan orang banyak. Jadi, aku menahannya.

Saat sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Di sana aku puas menangis sampai lelah hingga tertidur pulas.

Keesokan paginya aku terbangun. Mataku sudah bengul, rasanya perutku keroncongan. Namun, aku tak napsu makan.

“Zen, makan dulu nanti perutnya sakit.”
“Nggak mau.”

“Jangan ngambek, Zen. Nanti kita jenguk Ibu sama Adik lagi. Katanya mau nabung buat daftar masuk sekolah. Jangan nangis, dong. Ayah mau mancing. Kamu mau ikut?”

“Nggak, Yah.”

“Emang Zenna mau tinggal sama Ibu? Nggak takut kalau nanti dia menyakiti kamu? Sudah tahu Ibumu tak waras, masih aja kamu ngambek.”

“Ya, iyalah aku sayang Ibu. Kalau Ayah sudah tak sayang sama Ibu, pasti Ayah nggak ngerti apa yang aku rasakan sekarang.”

“Kalau dia ngamuk kamu bisa dipukul, dijambak dan kamu pasti kesakitan.”

“Tapi, dia tetap Ibuku. Apapun kekurangannya, aku tetap sayang.”

“Kamu memang keras kepala. Kamu lebih baik di rumah saja, Ayah pergi sekarang.” Jawab Ayah dengan wajah sedikit emosi.

Ayah menutup pintu rumah rapat-rapat. Aku yang sejak tadi hanya tiduran di kasur tak bisa memejamkan mata.

Hanya bayang-bayang wajah Adik dan Ibu yang masih membekas dalam jiwaku.

***
Hari demi hari kulalui dengan sabar. Rumah ini terasa sunyi tanpa tangis Adik dan suara Ibu menyanyikan selawat menjelang tidur.

Abang juga kelihatan sering murung. Kami jarang keluar rumah kecuali ada teman yang datang mengajak main.

Tepat ketika usiaku tujuh tahun lima bulan, aku bisa merasakan menjadi seorang pelajar di sekolah agama setara bangku SD.

Di sana aku mengenal banyak teman-teman yang baik dan juga guru-guru yang sudah seperti orang tuaku sendiri. Namun, nasibku tidak beruntung seperti anak lain pada umumnya.

Meski begitu, aku bersyukur setidaknya tak lagi larut dalam kesedihan.

Setiap hari aku melihat teman-teman dijemput oleh ibunya, sedangkan aku tidak. Kemana-mana aku sudah terbiasa pergi sendiri, terkadang ditemani Abang dan kadang bersama Ayah ke sawah atau kebun untuk mencari sayuran.

Aku sudah lelah menangis karena merindukan ibu dan ketidakberdayaan serta kondisi ekonomi Ayah saat itu tidak memungkinkan aku menjenguk Ibu, tetapi saat Ayah menjual tanah warisan Nenek dengan alasan untuk menyekolahkanku aku meradang.

Bersambung.

Metamorfosa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang