Part 19. Berdamai dengan diri sendiri

0 0 0
                                    

Aku tidak tega meninggalkan Adikku, tapi mau bagaimana lagi. Kami terpaksa terpisah oleh jarak. Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan air mata. Biar pun ditahan, tangis ini pecah ketika menatap adikku sedang tidur nyenyak di atas ayunan.

Aku mencium keningnya dan tubuhnya erat. Aroma tubuhnya selalu aku rindu. Sungguh aku tak tahan melepasnya di sini. Begitu pun saat pamit pada ibu.

Aku memeluknya lebih erat. Kucium tangannya dan tangisku makin pecah saat ibu tak merespon, dia hanya sibuk menceracau seperti itu sejak kemarin.

Melihat ibu dalam kondisi sakit jiwa seperti ini batinku menangis. Ada rasa tak rela menjalar dalam aliran darahku. Itu karena aku sayang ibu.

Saat hendak berbalik badan, ibu menarik tanganku sambil bicara tidak nyambung. Kurasa saat ini ibu dalam delusi lagi.

Aku menarik napas, sebelum melangkah ke teras depan. Saat berpamitan dengan nenek, tangisku tak terbendung lagi. Aku tak tega dengannya. “Titip Ibu, Nek.” Ucapku pelan di telinganya.

“Iya, Sayang.” Nenek memelukku erat sambil menangis. “Ini buat Zenna bawa pulang, ya.”

Aku manggut-manggut sambil menghapus air mata. Sekilas kutatap wajah Adik untuk yang terakhir kali.

Tidurnya sangat pulas. Namun, aku sedikit lega, untungnya dia tidak bangun.

  Nenek memberikan makanan, uang jajan dan baju yang dimasukkan dalam kantong plastik besar.

Ayah membantuku membawa semua itu. Nenek berpesan agar aku rajin sholat dan mendoakan Ibu. Aku takkan pernah melupakan nasihatnya.
 
Tibalah saatnya aku dan Ayah pulang.  Kami berdua diantar Paman naik motor baru setelah itu, kami lanjut naik angkot.

Aku bertemu Bibi di luar dan pamit padanya. Kupandangi rumah Nenek penuh haru. Batinku bicara, “Suatu hari aku akan pergi ke sini lagi untuk menjenguk kalian berdua. Aku janji.”

Di usiaku yang baru menginjak tujuh tahun. Aku sudah punya mimpi. Tekadku begitu membara untuk menggapai asa.

Semua itu karena aku ingin bersama orang-orang yang kusayangi. Bukan hidup seperti ini, kami terpisah oleh keadaan.

Aku ingin membahagiakan Ibu dengan hasil jerih payahku sendiri.

Itulah mengapa aku ingin sekolah. Namun, Ayah menolak karena kami belum punya uang yang cukup sehingga harus menabung dan tahun depan bisa mendaftar di sekolah yang aku idam-idamkan.

Rasanya begitu berat dipisahkan oleh orang-orang yang kusayangi. Aku hanya bisa diam, melihat sikap Ayah pada Ibu dan Adik.

Bukan berarti aku tak bisa merasakan perubahan sikap Ayah, tetapi aku diam karena tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Hanya kesedihan yang kupendam dalam lubuk jiwa. Masa kecilku dipatahkan oleh keadaan dan perpisahan orang tua.

Bersambung.

Metamorfosa CintaWhere stories live. Discover now