Part 16

4 0 0
                                    

“Ibu kamu belum sepenuhnya sembuh, tapi kondisinya sudah lumayan daripada waktu ayah mengantarkannya ke sini.”

“Memangnya kapan Ibu akan sembuh?”

“Masih lama prosesnya. Ibu kamu harus minum obat setiap hari. Kalau tidak, dia bisa kambuh.”

“Memangnya kenapa?”
“Karena kadang dia mengalami delusi. Sehingga itulah yang membuatnya tidak sadar akibat terkena gangguan psikotik.”

“Artinya apa, Bi?”
“Artinya dia seolah-olah mendengar dan melihat sesuatu yang tidak nyata.”

“Ya, Allah, Ibu.”

Hatiku marasa takut mendengar penjelasan Bibi. Meski aku tidak begitu paham dengan istilah yang Bibi sebutkan tadi, tapi rasa khawatir akan kondisi Ibu jelas membuatku panik.

Di sini kami tak kekurangan apapun karena meski nenek hanya seorang petani dan kakek telah wafat, kondisi ekonomi keluarga cukup mapan.

Banyak anggota keluarga yang memberikan angpao lebaran padaku dan asyiknya aku juga diajak Bibi jalan-jalan.

Hari itu, hidupku bagaikan di atas awan karena apa yang aku inginkan sudah aku dapatkan. Namun, pada hari kedua, terjadi suatu peristiwa yang membuat aku trauma.

Saat itu, ibu mulai kambuh, mungkin karena dia lupa minum obat. Aku tak paham bagaimana asal mula hal itu terjadi, tetapi karena ibu memaksaku untuk ikut, aku mengiyakan dan berjalan beriringan dengannya.

Namun, saat kami sedang di pinggir jalan, ibuku mulai terlihat aneh, dia bicara sendirian tanpa kumengerti apa maksudnya.

***
Tak ada angin atau pun hujan, tepat pukul 17.00 WIB ibu menceracau terus di jalan. Padahal, tak ada yang mengajaknya bicara. Hanya ada aku dan orang-orang yang di sedang berjualan di pinggir trotoar.

“Siap Komandan, tugas akan segera dikerjakan!” ucapnya dengan ekspresi wajah tegas.

Kontak semua orang yang berada di sana tertawa terahak-bahak. Bahkan ada yang teriak.

“Woy, orang gila! Jam segini udah ngayab. Biasanya cuma sendiri, tumben sekarang ditemani sama anak.” Sahut tukang ojek yang lagi mangkal di pinggir jalan.

Ibu tidak menimpali dia malah melanjutkan perjalanan. Kami menjadi pusat perhatian. Mereka menatap dengan sorot mata tajam karena itulah, aku merasa takut.

Beberapa di antara mereka juga membalas ucapan ibu dengan ejekan.

”Gimana kabarnya?”
“Sehat, Bang Jendral.”

“Mau ke mana bawa anak, Mpo?” tanya tukang bubur ayam.
“Mau tahu aja,” jawab ibu sambil cengengesan.

Bersambung.

Metamorfosa CintaWhere stories live. Discover now