Part 18

0 0 0
                                    

Sampai pada akhirnya aku mulai sedikit emosi. “Bu, ayo pulang. Zenna udah kedinginan. Mau ke mana lagi, Bu?”

Ibuku tetap terus berjalan tanpa menggubris permintaanku. Hari itu, saat aku mau menyerah, tiba-tiba ada suara yang memanggil kami. “Sudah mau magrib, Zen. Kamu mau ke mana ayo pulang!”

Aku menengok ke arah suara itu. Ya, samar-samar kulihat wajah Paman yang membuntuti kami dari belakang dengan sepeda motornya. “Ibu, ayo pulang paman manggil.”

Ibuku mulai berhenti. “Mau ke mana jam segini? Kasihan Zenna, gerimis begini masih di jalanan. Ayo cepat naik, kita pulang.”

Paman Jaya menarik tangan ibu dan memaksanya pulang. Aku mengikutinya dan naik di belakang. Saat itu aku mulai bernapas lega. 

Kami tiba di rumah nenek pukul 18.10 WIB. Nenek menyambut kami. Dia merasa khawatir. Nenek takut kalau terjadi apa-apa pada ibu. Begitu juga Bibi Sumi dan Paman Jaya.

“Dari makam kalian ke mana lagi? Tadi Paman nyariin, tapi nggak ketemu. Saat di jalan Paman dapat info, katanya Zenna ada di RT 08 lagi jalan di depan Alfa, jadi paman langsung ke sana.”

“Terima kasih, Paman. Tadi Ibu ngajakin keliling, ditanya mau ke mana nggak jawab. Aku udah ngajak Ibu pulang, tapi dia nggak mau,” jawabku.

Malam itu, aku menceritakan semua hal yang terjadi pada nenek. Dia tidak menyalahkan ibu karena dia tahu ibu mengalami delusi lagi. Dia menyayangkan masalah obat.

“Begitulah yang terjadi, jika Ibu tidak minum obat. Sedangkan harus minum obat setiap hari. Apalagi, obat itu mahal dan jarak RS Al-Mahdi sangat jauh.”

“Cuma Bibi kamu yang bisa bantu Nenek. Kadang Nenek kelupaan dan masih di sawah, tapi kamu lihat sendiri, ibu kamu kadang galak. Susah kalau tidak dipaksa,” ucap nenek.

Guratan wajahnya yang renta membuatku sedih. Aku hanya bocah ingusan yang mulai memahami betapa beratnya beban yang dipikul nenek juga keluarga ibu yang lain.

“Kalau capek, sekarang tidur, ya. Besok dijemput sama Ayah. Nanti kalau pulang, bilang dulu, Nenek udah siapin kue buat kamu.”
“Iya, Nek.” Jawabku singkat.

Saat itu nenek juga melarang ibu begadang karena khawatir akan kesehatan fisik ibu. Sebelum tidur, nenek memberikan ibu obat. Setelah itu, ibu tertidur pulas. Kurasa dia sangat lelah karena aku pun merasakan hal yang sama.

***
Saat mentari menyapa aku tak mau beranjak dari selimut. Rasanya tubuhku remuk. Namun, nenek bilang ayah sudah menunggu di luar.

Padahal baru pukul 07.00 WIB. Aku masih ingin di sini bersama ibu dan adik. Batinku bergumam, “Andaikan saja waktu bisa diputar.”

“Zen, Ayahmu sudah jemput.”
“Baik, Nek.”

Dalam keadaan setengah mengantuk, aku bangun dari ranjang. Dari kaca jendela, aku mengintip ayah. Dia sudah duduk di meja tamu.

Aku tidak langsung menyapanya karena aku mau mandi. Meski raga ini tak ingin pergi, tapi apa daya aku harus pulang. Mau bagaimana lagi, aku tak mungkin ada di sini. Setelah selesai aku menemui ayah.

“Kita naik angkot, Yah?”
“Iya, Nak. Ayo siapkan tasmu.”
“Adik kamu mana, Zen?”
“Itu, di dalam. Ayah masuk aja,” jawabku singkat.

Kali ini sikap ayah seperti orang lain. Mungkin karena ayah sudah tidak sayang lagi pada ibu dan adik. Sebenarnya aku sangat kecewa dengannya.

Sedikit pun dia tak punya rasa tanggung jawab pada ibu dan adikku. Padahal, mereka sudah lama hidup bersama, tapi saat ini seperti orang asing.

Bersambung.

Metamorfosa CintaWhere stories live. Discover now