Part 15

1 0 0
                                    

Kedua bola mataku mulai basah, ketika menggendong adik. Aku mencium keningnya dan tersenyum menyapanya dengan penuh sayang. Dia kelihatan bahagia. Aku melihat rona wajahnya yang imut dan putih.

Pipinya memerah, saat dia tersenyum malu. Adikku tak lagi kurang gizi seperti dulu, tubuhnya terlihat berisi dan sehat.

Rasa khawatir dalam hatiku mulai lenyap. Ya, sejujurnya aku merasa canggung karena setelah sampai di sana aku merasa asing berada di tempat yang jarang aku kunjungi, apalagi ibu malah memaksaku untuk makan.

Saat aku menolak, dia menyuapiku dengan penuh sayang.
Aku tersenyum menelan nasi dalam kerongkongan sambil membiarkan butiran bening air jatuh di pelupuk mata ini.

Ada semburat keharuan yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Rasanya seperti mimpi, bisa makan berdua ibu dan menghabiskan waktu bersamanya.

Saat hari telah senja, ayah pamit pada kami. Sedangkan aku tetap tinggal. Rasa kangenku belum hilang, masih bergejolak dalam dada.

Tiga hari selama di sana, membuatku bersyukur. apa yang aku inginkan telah terwujud. Setiap malam aku tidur di samping ibu.

Rasa tenang menyergap. Entah mengapa aku bisa tertidur pulas, tepat pukul 20.00 WIB padahal, biasanya aku tidur setelah pukul 23.00 WIB dan kadang terbangun di tengah malam. Namun, kali ini berbeda, hatiku merasa plong tanpa beban pikiran.  

Malam ini, aku masuk ke kamar, tiba-tiba kulihat ibu sedang menaruh sebuah buku ke dalam lemari. Hatiku menelisik, “Apa yang ditulis ibu di sampul biru itu?”

Rasa penasaranku terjawab, setelah diam-diam membuka lemari dan melihat tulisan di buku harian ibu.

Sayangnya, aku belum bisa membaca saat itu, jadi kutaruh kembali di dalam lemari.

Saat mentari menyapa dengan senyuman, ibu dengan sigap menyiapkan makan. “Sarapan dulu, nanti kalau sudah kenyang baru ikut ke makam Almarhum Engkong Haji.”

Aku menurut dan mengambil piring. Ibu menyendok nasi merah serta semur daging lalu kami makan dengan lahap.
“Nanti kalau pergi sama Ibu, jangan lupa, jam 12 pulang, ya biar ibu nggak telat minum obat.” Ucap nenek.

“Iya, Nek.”
Aku menghabiskan sarapan lalu bersiap untuk mandi. Setelah selesai Bibi memberikan baju baru. Aku senang memakainya. Kemudian kami mengobrol sebentar di teras rumah.

Bersambung.

Metamorfosa CintaWhere stories live. Discover now