1

547 39 8
                                    

Lara hati bertemu
Kuncup kembang tak layu
Tanah merah masih basah
Selamat jalan Bunda pelita jiwa

***

"Tunggu!" Suara Gusta Pratama masih selantang saat muda dulu. Sorot matanya juga masih tajam menatap dua anaknya yang sudah dewasa. Meskipun gurat di wajah tidak bisa menipu usianya sudah 60 tahun. Usia yang tidak bisa disebut muda lagi.

Kedua anak Gusta Pratama yang berjalan beriringan pun berhenti. Si sulung memegangi kening dan segera berbalik. Menatap sang ayah yang siap memarahinya. Namun kemudian ia hanya menatap sang ayah tak melakukan apa pun. Binar matanya seolah bicara tapi hanya percakapan batin si anak dan ayahnya. Ia lantas berbalik ke arah lain. Melangkah menuju sebuah kamar di bagian tengah ruangan besar itu. Kamar yang telah lama tak lagi ia singgahi.
Sementara si bungsu menunduk. Lalu sesaat mendongak, menahan supaya air matanya tak jatuh. Getir hati ia rasa. Ibunda terkasih pergi tanpa pamit. Ia bahkan tak sempat menemani detik-detik kepergian sang Bunda. Hal yang akan ia sesali sepanjang hayat.

"Adrian!" Suara Gusta Pratama lagi-lagi terdengar tegas namun tak segarang tadi. Kali ini lebih dekat lantaran pria tua berpawakan kurus tinggi itu mendatangi putranya. Tangan kurusnya meraih bahu kokoh milik sang anak. Putra bungsunya itu menoleh. Dan lagi-lagi percakapan antara anak dan ayah terjadi tanpa diketahui siapa pun. Hanya anggukan sang anak yang akhirnya merenggangkan tangan Gusta di bahu sang putra.

Rasa berkecamuk di dada Adrian. Ia turut sang kakak. Menyepi di kamar lamanya. Memandangi foto-foto usang yang tergantung di tembok. Memandangi wajah sang bunda yang telah lebih dulu pergi.

"Bunda tidak memaksa, Nak. Jadilah yang terbaik."

Kalimat Bunda terngiang di benak Adrian. Bunda lah satu-satunya orang yang selalu mendukungnya. Termasuk pilihan Adrian untuk menjadi anggota kepolisian. Juga kemarahan sang ayah karena ia menolak mengurus bisnis pusat perbelanjaan yang dikelola ayahnya.

Bagi Adrian hidup menjadi penyidik adalah impiannya sejak kecil. Berkutat dengan kasus tanpa memikirkan persoalan laba rugi penjualan.

Namun, tangan Adrian mengepal saat teringat suatu hal.

"Pergi dari sini!" Makian Gusta Pratama masih pula terngiang jelas. Kala itu Adrian baru saja kembali dari pelatihan investigasi di USA. "Aku masih kuat mengurus semua, tidak butuh kamu! Atau pun anak durhaka itu!"

Adrian datang di waktu yang tidak tepat. Hari itu juga, kabar Alisha, sang Kakak menjadi model di majalah dewasa membuat ayahnya murka. Bunda juga menangis pilu.

"Sadarkan kakakmu, Adrian," pinta Bunda di sela isak tangisnya. Tapi, lagi-lagi sang ayah memaki, mengusir putranya.

"Pergi! Dan jangan memberikan kesedihan lagi!"

Adrian mengusap air mata yang ternyata sudah meluncur di pipi. Ayahnya kini telah menua. Bundanya kini telah berpulang. Dan sang kakak masih saja bertabiat buruk.

"Alisha! Keluar dari dunia bodoh itu!" Gusta mengumpat.  Adrian berdiri tak jauh melihat kakaknya yang sudah menyeret koper hendak pergi.

"Ayah nggak tahu apa-apa soal Alisha! Alisha menyukai kehidupan ini!" Alisha menjawab.

"Menyukai hal yang menciptakan banyak skandal?" Gusta berseru.

"Skandal? Ayah pikir ayah paling suci? Apa itu menaikkan harga hingga mencekik konsumen? Aku tidak mau hidup dengan mengandalkan uang orang kecil yang buta oleh harga!" Alisha menyeret kopernya dan pergi meninggalkan sang ayah. Ia bahkan melewati Adrian begitu saja. Tak menoleh sedikit pun.

Gusta memegangi kepalanya yang sakit seketika. Belum kering tanah makam sang istri. Anak perempuannya justru memilih pergi. Adrian memegangi lengan sang ayah dan membantunya duduk.

"Aku akan memaafkanmu soal profesimu, tapi bawa Alisha pulang," pinta Gusta Pratama pada anak bungsunya dengan wajah serius.

Tatapan mata penuh harap seorang ayah yang telah menua. Adrian mengangguk penuh keyakinan diri. Pasti. Ia akan membawa kakaknya kembali.

Malam meremang oleh waktu. Hingar bingar kota melemah seketika. Dentang jam berbunyi dua kali. Adrian memegangi ponselnya yang berdering. Ada panggilan darurat. Ia bergegas. Meraih jaket kulit hitam yang tersampir di kursi. Meninggalkan rumah mewah yang sunyi itu. Memasuki sebuah Fiat hitam dengan kap terbuka. Membiarkan angin malam membasuh wajahnya.

Dari balkon lantai dua, Gusta memandangi putranya. Teringat dulu bagaimana sang ayah juga melakoni profesi yang sama. Karena itu ia tak mampu menerima keputusan Putra satu-satunya yang ia miliki, memilih jalan yang sama seperti ayahnya dahulu. Tak mau jika Adrian menjadi seperti sang Kakek. Berangkat tengah malam, dan pulang tinggal nama.

Namun, Gusta mulai sadar. Hidup mati, Tuhan lah yang menentukan. Ia hanya melakoninya saja. Seperti sebuah wayang, yang siap diperankan oleh sang dalang.

***

"Posisi?" Suara intercome Adrian terdengar.

"Jalan Mahesa Km 12," jawab Adrian dengan alat komunikasinya.

"Blank! Target hilang!" Rekannya berseru. Terdengar suara gaduh. Adrian memukul stir mobilnya dan melepas intercomnya. Kakinya menginjak pedal gas lebih dalam. Fiat hitam itu melaju cepat di jalanan. Menuju titik terakhir sosok yang dikejarnya menghilang.

Sebuah bar masih ramai. Adrian menghentikan laju mobilnya. Ia melangkah masuk ke bar yang ramai itu. Bau alkohol menyengat di mana-mana.

"Hei adik!" Suara yang tak terduga terdengar.

"Sialan!" Adrian mengumpat. Sosok yang tidak diharapkan justru menghalangi pengejarannya pada target.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alisha sembari bergelayut di bahu sang adik. Adrian mencium bau alkohol yang pekat melalui napas sang kakak.

"Woiy! Ini adek gue! Dia polisi!" seru Alisha tanpa basa-basi.

"Hish!" Adrian benar-benar kesal pada kakaknya. Dia menarik lengan Alisha yang mabuk dan menyeretnya ke dalam mobil.

"Heh, gue belum kelar!" protes Alisha menyadari tubuhnya sudah duduk di jok mobil Adrian.

"Pulang!" Adrian menutup kasar pintu penumpang dan segera melajukan mobil menuju rumah mewah keluarganya.

Wajah Alisha tampak mengantuk. Ia pasti banyak minum tadi. Padahal, beberapa kali infotainment membahas perangainya termasuk terpergok sedang minum alkohol. Meski menyebalkan pada dasarnya Adrian tetap menyayangi kakaknya.
Adrian teringat dulu, ia dan Alisha kerap didongengi Bunda sebelum tidur. Ah, tapi waktu menutupi semua satu per satu. Yang tampak hanya perseteruan sengit.

Adrian memandangi Kakaknya saat sampai di depan pagar rumah mewah keluarga Pratama. Ia baru saja melepas savety belt saat Alisha tiba-tiba bangun. Alisha langsung terhuyung keluar.

"Hei tunggu!" Adrian berusaha mencegahnya. Tapi langkah Alisha menuju sebuah taksi yang terparkir di bahu jalan. Belum juga Adrian berseru, taksi itu sudah melaju membawa sang kakak. Mengarungi malam.

"Hei!" Adrian mencoba mengejarnya tapi bunyi interkom menghalanginya.
"Target ditemukan! Arah 15Km jalan Halimun Raya!"

Adrian tidak menjawab, ia bergegas menancap gas lagi menuju arah yang disebut rekannya.

Malam terbius waktu. Profesionalisme adalah segalanya. Adrian Putra Pratama, sang penyidik kepolisian kota. Ia harus memantapkan hati pada sumpah janji seorang penyidik. Sebagai abdi negara.

***

CIRCLE OF LOVE Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt